I. Pendahuluan
Al-Qur’n surat 49:13[1]
dan 75:39[2]
menyebutkan bahwa Allah SWT menjadikan manusia kepada dua jenis: laki-laki dan
perempuan. Kedua jenis kelamin tersebut masing-masing diberi naluri saling
mencintai,[3]
dan sebagai buahnya manusia di dunia ini dapat berkembang baik. Untuk
memperoleh keturunan yang sah, sebelumnya manusia diperintahkan membentuk rumah
tangga melalui akad nikah dengan aturan yang telah ditentukan. Hubungan jenis
kelamin itu jika tanpa didahului akad nikah tergolong perbuatan zina. Dalam
Islam, zina dilarang dan hukumnya haram.[4]
Agar tercipta rumah
tangga yang bahagia dan sejahtera, Allah SWT dan Rasul-Nya memberikan petunjuk
agar sebelum perkawinan memilih calon yang baik.[5]
Diantara kebahagiaan dan kesejahteraan rumah tangga adalah hadirnya anak
seperti yang didambakan.[6]
Pada kenyataannya, kehadiran anak yang didambakan itu ada yang tidak terwujud.
Prof. Dr .Asri Rasad,
MSc, PhD, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyatakan bahwa
setidaknya ada 10 – 20 % pasangan suami isteri yang mengalami kesulitan
memperoleh keturunan. Kesulitan memperoleh keturunan bisa dikarenakan beberapa
sebab. Ada sebab yang terdapat di pihak suami dan ada pula yang terdapa di
pihak isteri.[7]
Klasifikasi penyebab perceraian yang dibuat Kantor Urusan Agama hanya menyebut
secara umum tentang sebab-sebab perceraian yaitu: 1) Meninggalkan kewajiban, 2)
Krisis akhlak, 3) Biologis, 4) Dimadu, 5) Politis.[8]
Sebagai akibat dari
ketidak hadiran anak dalm satu keluarga, setidaknya keluarga tersebut akan
mencari beberapa alternatife misalnya: 1) Menyerah kepada nasib, 2) Adopsi, 3)
Cerai, 4) Poligami , 5) Inseminasi buatan.
Mengenai alternatif
terakhir (Inseminasi buatan) yang nota bene penemuan dibidang teknologi
kedokteran, masih banyak persoalan, terutama jika ditinjau dari segi hokum
agama. Oleh sebab itu makalah ini bertujuan melacak pelaksanaannya. Apakah
inseminasi buatan dapat dibenarkan oleh hokum islam? Apakah ia menyebabkan
pembunuhan? Apakah tidak merupakan perzinaan? Bagaimana status anak yang
dihasilkannya?
II. Seluk
Beluk Inseminasi Buatan
A. Latar
Belakang Pelaksanaan Inseminasi Buatan
Untuk memahami secara pasti latar belakang
pelaksanaan Inseminasi buatan mengalami kesulitan karena tidak ada kesepakatan
siapa penemu pertamanya. Daniel Rumondor[9]
memberikan isyarat bahwa inseminasi buatan agaknya diilhami oleh keberhasilan
Syeikh-syeikh Arab meperanakan kuda sejak tahun 1322. Praktek inseminasi buatan
pada manusia secara tidak langsung terkandung dalam cerita Midrash di mana Ben
Sirah dikandung secara tidak sengaja karena ibunya memakai air bak yang sudah
tercampur sedikit air mani. John Hunter, seorang guru dari Philadelphia pada
tahun 1785 berhasil mengadakan inseminasi buatan terhadap isteri seorang
pedagang kain di London. Kemudian, eksperimen yang berhasil di Perancis diikuti
oleh laporan dokter Amerika pada tahun 1866 bahwa ia berhasil melakukannya
sebanyak 55 pada 6 orang wanita dan bayi inseminasi buatan pertama di Negara
itu.[10]
Di Indonesia, keberhasilan inseminasi buatan
ditandai dengan lahirnya Akmal dari pasangan Linda-Soekotjo pada 25 Agustus
1987 dengan teknik GIFT, dan Dimas Aldila Akmal Sudiar, lahir pada 2 Oktober
1988, dari pasangan Wiwik Juwari-Sudirman dengan teknik IVF. Keduanya adalah
hasil kerja tim Makmal Terpadu Imuno Endokrinologi Fakultas Kedokteran UI.[11]
Latar belakang dikembangkannya inseminasi buatan di Indonesia, sebagaimana
dinyatakan oleh Dr. H. Enud J. Surjana (Ketua Makmal Terpadu FKUI) dn Prof.dr.
Asri Rasad (Dekan Fakultas Kedokteran UI) adalah semata-mata untuk membantu
pasangan suami istri yang sulit memperoleh keturunan.[12]
Berdasarkan gambaran singkat di atas, terlihat bahwa
Latar belakang dilakukannya inseminasi buatan dapat bermacam-macam. Inseminasi
buatan yang dilakukan Steptoe dan yang dilakukan tim Makmal Terpadu FKUI lebih
banyak ditunjukan kepada pasangan suami isteri yang telah lama berumah tangga
namun kesulitan memperoleh keturunan. Sementara, menurut Stalin, inseminasi buatan ditunjukan untuk
menghindarkan kepenuhan manusia akibat perang. Adapun menurutKruschov,
inseminasi buatan akan dapat membentuk generasi jenius. Hasil gagasan Kruschov
ini sampai sekarang tidak diperoleh berita. Gagasan semacam ini juga pernah
dilontarkan oleh Robert Graham dari California, Amerika Serikat yang ingin
mengumpulkan sperma para pemenang hadiah Nobel agar tercipta bayi super.[13]
Latar belakang lain kemungkinan dilaksanakannya inseminasi buatan adalah untuk
memilih jenis kelamin tertentu dari anak yang akan dilahirkan.[14]
Dipihak lain, ia juga dapat dijadikan sebagai sarana pengembangan teknologi di
bidang kedokteran.
Latar belakang melakukan inseminasi buatan adalah
keinginan-keinginan sebagai berikut:
1. Keinginan
memperoleh atau menolong memperoleh keturunan;
2. Menghindarkan
kepunahan manusia
3. Memperoleh
generasi jenius atau orang super;
4. Memilih
suatu jenis kelamin;
5. Mengembangkan
teknologi kedokteran.
B.
Pengertian dan Teknik Inseminasi Buatan
Inseminasi buatan merupakan terjemahan dari istilah
Inggris artificial insemination. Dalam bahasa Arab disebut al-talqih
al-shina’iy. Dalam bahasa Indonesia ada yang menebutnya permainan buatan,
pembuahan buatan,[15]
atau penghamilan buatan.[16]
Batasannya dirumuskan dengan redaksi yang
bermacam-macam. Drh.Djamalin Djanah mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
inseminasi buatan ialah “Pekerjaan memasukan mani (sperma atau semen) ke dalam
rahim (kandungan) dengan menggunakan alat khusus dengan maksud terjadi
pembuahan”.[17]
Secara umum dapat diambil pengertian bahwa inseminasi
buatan adalah suatu cara atau teknk memperoleh kehamilan tanpa melalui
persetubuhan (coitus). Adapun tekniknya ada dua cara, yaitu:
1.
Fertilasi in Vitro (FIV)
Fertilasi in Vitro (In
Vitro Fertilization) ialah usaha fertilasi yang dilakukan di luar tubuh, di
dalam cawan biakan (petri disk), dengan suasana yang mendekati ilmiah. Jika
berhasil, pada saat mencapai stadium morula, hasil fertilasi ditandur-alihkan
ke endometrium rongga uterus. Teknik ini biasanya dikenal dengan “bayi tabung”
atau pembuahan di luar tubuh.
2. Tandur
Alih Gamet Intra Tuba (TAGIT)
Tandur Alih Gamet Itra
Tuba (Gamet Intra Fallopian Transfer) ialah usaha mempertemukan sel benih
(gamet), yaitu ovum dan sperma, dengan cara menyemprotkan campuran sel benih
itu memakai kanul tuba ke dalam ampulla. Metode ini bukan metode bayi tabung
karena pembuahan terjadi di saluran telur (tuba fallopi) si ibu sendiri.[18]
Di luar negeri teknik
TAGIT lebih berhasil disbanding dengan FIV. Perbandingannya cukup mencolok
yaitu 40:20.[19]
Teknik yang terbaok dari keduanya tergantung pada keadaan pemilik sperma dan
ovum serta keadaan kandungan.
C. Kasus-kasus
Inseminasi Buatan
Untuk memperoleh gambaran pelaksanaan inseminasi
buatan, berikut ini dikemukakan beberapa kasus.
Tanggal 25 Juli 1978 Ny. Lesley Brown melahirkan
seorang anak, Louise Brown, dengan hasil inseminasi buatan yang diusahakan oleh
tim Dr. Patric Steptoe dirumah sakit Oldham, Inggris, Sperma diambil dari
suaminya sendiri.[20]
Di Indonesia, keberhasilan inseminasi buatan
ditandai oleh lahirnya Akmal pada 25 Agustus 1987. Ia lahir dari pasangan suami
isteri Linda Soekotjo, dengan teknik TAGIT. Adapun dengan teknik FIV tim bayi
tabung Indonesia yang diketahui oleh Dr. H.Enud J. Surjana dari Fakultas
Kedokteran UI menghasilkan kelahiran Dimas Aldila Akmal Sudiar pada 2 Oktober
1988, dari pasangan suami-isteri Wiwik Juwari-Sudirman.[21]
Inseminasi buatan yang berasal dari sari sperma
suami yang telah meninggal dan ovum
isterinya dapat dilihat dari kasus Mario Rios asal Chili dengan Elsa asal
Argentina.[22]
Pengadilan Perancis akhirnya juga memutuskan bahwa janda muda Corinne Parpalaix
boleh menggunakan sperma suaminya yang telah meninggal.[23]
Dan Kim Casali yang ditinggal mati suaminya, Roberto, juga berhasil melahirkan
Milo.[24]
Dengan inseminasi buatan, wanita yang tidak bersuami
akhirnya juga dapat hamil dan melahirkan dengan jasa Bank Sperma. Di antaranya
adalah Dr. Afton Blake, seorang psikolog.[25]
Di Amerika Serikat cara semacam ini dilakukan sedikitnya 9% dari mereka yang
melakukan inseminasi buatan.
Pada 1 Oktober 1987 dunia digemparkan oleh lahirnya
anak kembar tiga dari neneknya sendiri pasangan Karen-Alcino ingin memperoleh
ketrunan, tetapi setelah dilakukan inseminasi buatan, Karen dinyatakan tidak
baik untuk hamil. Akhirnya neneknya, ibu
Karen, Pat Anthony bersedia ditempati sperma dan ovum yang telah dibuahi itu.[26]
Contoh kasus di atas, jika diklasifikasi menurut
bibit (sperma dan ovum) yang digunakan, adalah sebagai berikut:
1.
Antara sperma dari suami dan ovum dari
isterinya yang kemudian ditanam dalam rahim isterinya.
2.
Antara sperma yang telah dibekukan dalam
Bank Sperma dari suaminya yang meninggal dan ovum isterinya kemudian ditanam
dalam rahim isterinya.
3.
Antara sperma dari laki-laki yang tidak
diketahui asalnya dan ovum wanita yang tidak bersuami kemudian ditanam dalam
rahim wanita itu.
4.
Antara sperma suami dan ovum isteri
kemudian ditanam dalam rahim orang lain.
Klasifikasi
lain yang contoh kasusnya belum ditemukan bisa saja ditambahkan dengan:
1. Antara
sperma suami dan ovum wanita lain yang kemudian ditanamkam dalam rahim isteri.
2. Antara
sperma laki-laki lain dan ovum isteri ditanam dalam rahim isteri.
3. Antara
sperma laki-lai lain dan ovum wanita lain kemudian ditanam dalam rahim isteri.
4. Antara
sperma suami dan ovum isteri kemudian ditanam dalam rahim isteri lain (bila
poligami).
D. Permasalahan
Hukum Inseminasi Buatan
Permasalahn hokum akibat inseminasi buatan seperti
tergambar di atas antara lain:
1. Masalah
jumlah sel telur yang harus diambil, karena dalam proses pembuahan in vitro,
sel telur yang diambil lebih dari satu agar terhindar dari kegagalan.
2. Masalah
sel telur yang dibuahi itu jika tidak dimusnahkan akan dibekukan yang suatu saat dapat dipergunakan lagi.
3. Masalah
sperma yang dijadikan donor karena berbagai alsan.
4. Masalah
ibu pengganti (surrogate motherhood) yang ditempati hasil pembuahan sperma
dan ovum orang lain.
III. Analisi
Pelaksanaan Inseminasi Buatan menurut tinjauan Hukum Islam.
Pelaksanaan inseminasi
buatan membawa dilemma terutama jika dilakukan dengan hokum Islam. Menganalisis
permasalahan tersebut, yang menyangkut hal-hal seperti:
(1). Pengambilan bibit,
(2) penanaman bibit, (3) asal penempatan bibit, dan (4). status anak yang
dilahirkan.
A. Pengambilan Bibit
Yang dimaksud dengan
pengambilan bibit di sini adalah pengambilan sel telur (ovum pick up)
dan pengambilan / pengeluaran sperma.
1. Pengambilan
Sel Telur (Ovum Pick Up = OPU)
Dalam inseminasi buatan
ada dua cara untuk pengambilan sel telur, yaitu dengan Laparoskopi dan
USG (Ultrasonografu).[27]
Dengan cara laparoskopi folikel akan
tampak jelas pada lapang pandangan laparoskopi kemudian indung telur dipegang
dengan penjepit dan dilakukan persiapan. Cairan folikel yang berisi sel telur
ditampung dalam tabung. Cairan tersebut diperiksa di bawah mikroskop untuk
meyakinkan apakah sel telur ini sudah ditemukan. Adapun cara USG, folikel yang tampak
di layar ditusuk dengan jarum melalui vagina kemudian dilakukan pengisapan
folikel yang berisi sel telur seperti cara pengisapan laparoskopi.
Yang perlu dianalisis
pada pengambilan ovum tersebut adalah persoalan melihat aurat sendiri.[28]
Syafi’iyah dan Hanabilah dalam satu riwayat menyatakan bahwa semua badan wanita
merdeka adalah aurat[29]
sedang menurut Hanafiyah dan Malikiyah menyatakan bahwa semua bdan wanita
adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangan.[30]
Aurat itu dilarang dibuka di hadapan laki-laki lain. Akan tetapi mereka sepakat
kalau karena dharurat seperti berobat, boleh dibuka.[31]
Yusuf al-Qardhawy dalam kitabnya Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam[32]
menyatakan bahwa dalam kondisi dharurat atau hajat, memandang atau memegang
aurat diperbolehkan dengan syarat keamanan dan nafsu birahi terjaga.
Dalam praktek
pengambilan sel telur seperti dijelaskan di atas, para dokter ahli tidak lepas
dari melihat bahkan meraba atau memasukkan sesuatu dalam aurat besar wanita. Di
samping itu para dokter sering juga berkhalwat dengan pasien ketika mendiagnosa
penyakit. Pelaksanaan tersebut jika diniati dengan baik, terjaga keamanan, dan
tidak merangsang sahwat dapat dikatagorikan sebagai hal yang dharurat. Islam
memperbolehkannya karena sesuai dengan kaidah ushul fiqh.[33]
الضّرُوْرَةُ
تُبِيْحُ المَحْظُورَاتِ
Keadaan dharurat membolehkan sesuatu
yang dilarang.
Demi mencegah fitnah dan godaan setan,
maka sebaiknya sewaktu dokter memeriksa pasien dihadiri orang ketiga dari
keluarga maupun tenaga para medis, sesuai dengan kaidah ushul:[34]
دَرْأُ
الْمَفَاسِدِ أَوْلَىمِنْ جَلْبِ المَصَالِحِ
Menghindari kesusahan
lebih utamakan dari mengambil maslahat.
Akan sangat baik jika
dokter pemeriksa itu dari jenis kelamin yang sama. Sulit dibayangkan jika dalam
kondisi dharurat seperti itu masih diharamkan melihat aurat besar wanita.
Sebab, bagaimana dengan wanita yang akan melahirkan?
Berdasarkan uraian di
atas dapat diambil pengertian bahwa pengambilan sel telur (ovum) dalam
pelaksanaan inseminasi buatan dihalalkan karena pertimbangan dharurat.
Disamping kondisi itu, dokter pemeriksa pun harus tetap menjaga Etik
Kedokteran.
2.Pengeluaran
Sperma
Dibanding dengan
pengambilan sel telur, pengeluaran dan pengambilan sperma relative lebih mudah.
Untuk memperboleh sperma dari laki-laki dapat dilakukan antara lain dengan: (a)
Istimna’ (manstrubasi, onani), (b) ‘Azl coitus interruptus:
senggama terputus), (c) Dihisap langsung dari pelir (testis), (d) Jima’ dengan
memakai kondom, (e) Sperma yang ditumpahkan ke dalam vagina yang dihisap dengan
cepat dengan spuit, dan (f) Sperma mimpi malam.[35]
Untuk keperluan
inseminasi buatan, cara yang terbaik adalah mastrubasi (onani).[36]
Program Fertilisasi in Vitro (FIV) Fakultas Kedokteran UI juga menyaratkan agar
sperma untuk keperluan inseminasi buatan diambil atau dikeluarkan dengan cara
masturbasi dan dilakukan di Rumah Sakit. Pengeluaran sperma dengan cara ‘azl
(senggama terputus) tidak diperkenankan karena akan mengurangi jumlah sperma
yang didapat.[37]
Di dalam teknik FIV hanya diperlukan antara 50.000-100.000 sperma motil sedang
pada senggama normal diperlukan 50 juta – 200 juta sperma.[38]
Yang menimbulkan
persoalan dalam hokum Islam adalah bagai mana hokum onani dalam kaitan dengan
pelaksanaan inseminasi tersebut.
Al-Qur’an Surat 23:5,
24:30, 31, dan 70:29 Allah SWT memerintahkan agar manusia menjaga kemaluannya
kecuali kepada yang telah dihalalkan. Secara umum Islam memandang bahwa melakukan onani
tergolong perbuatan etis. Mengenai hokum, fuqaha berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan
secara mutlak, ada yang mengharamkan secara mutlak, ada yang mengharamkan pada
hal-hal tertentu, ada yang mewajibkan juga pada hal-hal tertentu, dan ada pula
yang menghukumi makruh.[39]
Sayid Sabiq menyatakan bahwa Malikiyah, Syafi’iyah, dan Zaidiyah menghukumi
haram. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa Allah SWT memerintahkan menjaga
kemaluan dalam segala keadaan kecuali kepada isteri atau budak yang
dimilikinya. Ahnaf berpendapat bahwa onani memang haram, tetapi kalau karena
tajut zina, maka hukumnya menjadi wajib. Kaidah ushul fiqh menyebutkan:
اِرْتِكابُ
أَخَفِّ الضّرُ ريْنِ وَاجِبٌ
Mengambil
yang lebih ringan dari suatu kemudharatan adalah wajib
Kalau karena alasan
takut zina, atau kesehatan, sedangkan tidak memiliki isteri atau amah
(budak) dan tidak mampu kawin, maka menurut Hanabilah onani diperbolehkan.
Kalau tidak ada alasan yang senada dengan itu maka hukumnya haram. Ibn Hazim
berpendapat bahwa onani hukumnya makruh, tidak berdosa tetapi tidak etis. Di
anatara yang memakruhkan onani itu jga Ibn Umar dan Atha’. Berbeda pendapat
dengan pendapat diatas, Ibn Abbas, Hasan dan sebagian besar Tabi’in menghukumi
mubah. Al-Hasan justru mengatakan bahwa orang-orang Islam dahulu melakukan
onani pada masa peperangan. Nujahid juga menyatakan bahwa orang Islam dahulu
memberikan toleransi kepada para pemudanya melakukan onani. Hukumnya mubah,
baik buat laki-laki maupun perempuan.[40]
Ali Ahmad al-Jurjawy dalam kitabnya Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuhu[41]setelah
menjelaskan kemadharatan onani mengharamkan perbuatan ini, kecuali kalau karena
kuatnya syahwad dan tidak sampai menimbulkan
zina. Agaknya Yusuf al-Qardhawy juga sependapat dengan Hanabilah mengenai hal ini,[42]
al-Imam Taqiyuddin Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husainy[43]
juga mengemukakan kebolehan onani yang dilakukan oleh isteriatau amah-nya karena itu memang tempay kesenangannya:
لَوِ اسْتَمْنَى
الرّجُلُ بِيَدٍ امْرَأَتِهِ أَوْأَمَتِهِ جَازَ لِأَ نّهاَ مَحَلّ اِسِتِمْتا عِهِ
Seorang
laki-laki dibolehkan mencari kenikmatan melalui tangan isteri atau hamba
sahayanya karena di sanalah (salah satu) dari tempat kesenangannya.
Memperhatikan
pendapat-pendapat mengenai hokum onani di atas, maka dalam kaitan dengan
pengeluaran/pengambilan sperma untuk inseminasi buatan, boleh dilakukan. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pengambilan sel telur (ovum) dan sperma untuk
keperluan inseminasi buatan – dengan illat hajah tertentu – dapat dibenarkan
oleh hukum Islam.
B.
penanaman Bibit (Embryo Transfer)
Setelah sel telur dan
sperma didapat, proses inseminasi buatan seperti telah disinggung pada uraian
sebelumnya, dilakukan pencucian sperma dengan tujuan memisahkan sperma yang
motil dengan sperma yang tidak motil/mati. Sesudah itu antara sel telur dan sperma dipertemukan.
Jika dengan teknik in vitro, kedua calon bibit tersebut dipertemukan
dalam cawan petri, tetapi jika teknik TAGIT sperma langsung disemprotkan ke
dalam rahim. Untuk menghindari kemungkinan kegagalan, penanaman bibit biasanya
lebih dari satu. Embrio yang tersisa kemudian disimpan beku atau dibuang. Yang
menjadi persoalan dalam kaitan dengan hukum Islam di sini adalah bagaimana
hokum pembuangan embrio tersebut. Apakah hal ini dapat digolongkan kepada
pembunuhan?
Sebagai anlisis, patut
dicatat bahwa embrio tersebut tidak berada dalam rahim wanita. Kalau abortus
diartikan sebagai keluarnya isi rahim ibu yang telah mengandung,[44]
maka pembicaraan ini tidak tergolong berada rahim waita.
C. asal dan Tempat Penanaman Bibit
Sesuai
dengan klasifikasi asal dan tempat penanaman bibit yang terdapat dalam
pembahasan diatas, berikut akan dianalisis menurut tinjauan hukum Islam.
1.
Bibit dari suami - isteri dan
ditanamkan pada isteri
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa proses
kejadian manusia, baik menurut fuqaha maupun ahli kedokteran, dimulai dari
pembuahan hasil pertemuan sperma dan ovum. Secara alami, pertemuan sperma dan
ovum itu melalui sanggama. Maka dapat di pahami bahwa di antara manfaat
sanggama adalah mempertemukan sperma dengan ovum.[45]
Dalam Islam, bersanggama hanya diperbolehkan setelah didahului akad nikah yang
sah.
2.
Bibit dari Suami-isteri dan
ditanamkan pada orang lain.
Dalam kasus ini Lembaga Islam OKI menghukumi haram karena
dikhawatirkan percampuran nasab dan hilangnya keibuan serta halangan syara’
lainnya.
3.
Sperma suami yang telah meninggal dan ovum isteri ditanam pada rahim isteri
Di antara sebab putusnya hubungan pernikahan adalah salah
seorang (suami atau isteri) meninggal. Bagi wanita (janda) diperbolehkan nikah
kepada orang lain lagi setelah menunggu masa iddah.
4.
Sperma laki-laki lain dibuahkan
dengan ovum wanita lain dan ditanamkan pada rahim wanita yang tidak bersuami.
Di atas telah dinyatakan bahwa pembuahan hanya dihalalkan
bagi orang yang memiliki iktan pernikahan yang sah.
5.
Sperma suami yang dibuahkan dengan
ovum wanita lain (donor) dan ditanam pada rahim isteri.
Walaupun isteri sendiri yang dijadikan tempat penanaman
embrio, tetapi karena konsepsinya berasal dari pembuahan bibit yang tidak
memiliki ikatan pernikahan yang sah, maka inseminasi model ini juga tidak dapat
dibenarkan.
6.
Sperma laki-laki lain (donor) dibuahkan
dengan ovum isteri dan ditanamkan pada rahim isteri
Inseminasi model ini sama halnya dengan inseminasi model
kelima, yaitu ovum dan tempat penanaman bibit ada pada isteri sendiri namun
karena sperma dari orang lain maka diharamkan oleh Islam.
7. Sperma laki-laki lain (donor) dibuahkan
dengan ovum wanita lain (donor)dan ditanamkan pada rahim isteri.
Bibit yang berasal dari donor yang tidak mempunyai ikatan
pernikahan yang sah, sebagaimana uraian terdahulu, tidak dapat dibenarkan oleh
Islam. Akan tetapi jika bibit berasal dari pasangan suami-isteri yang sah
kemudian dititipkan kepada isteri, maka ia hanya menjadi penitipan.
8. Bibit
dari suami-isteri dan dititipkan kepada rahim isteri yang lain (karena
poligami)
Kalau dapat dihindari adanya percecokkan di belakang
hari, maka inseminasi model ini dapat disamakan dengan model kedua dan ketujuh.
Perbedaannya pada adanya ikatan pernikahan karena poligami.
B. Status Anak Hasil
Inseminasi Buatan
Berdasarkan
pengertian di atas, berikut ini akan diuraikan status anak hasil inseminasi
buatan yang secara garis besar dibagi menjadi dua: pembuahan sperma dan ovum
yang memiliki ikatan menikah dan yang tidak memiliki ikatan nikah.
1.
Anak hasil penanaman sperma ovum yang
memiliki ikatan nikah.
Dalam hal ini penanaman
embrio bisa terdapat dalam tiga kemungkinan. Pada rahim isteri sendiri yang
memiliki ovum (tidak poligami), pada isteri sendiri yang yidak memiliki ovum
(berpoligami), dan pada orang lain.
1.1.
Pada isteri sendiri yang memiliki ovum.
Status anak untuk inseminasi
jenis ini, seperti yang telah disinggung di atas, adalah anak kandung, baik
secara genetic maupun hayati.
1.2.Pada
isteri sendiri yang tidak memiliki ovum
Kalau ditinjau
secara lahiriah dan hayati, anak tersebut adalah anak milik ibu yang melahirkan.
Tetapi jika ditinjau secara hakiki, anak tersebut adalah anak yang mempunyai
bibit, karena wanita yang melahirkan itu hanya menerima titipan embrio. Kalau
ditinjau dari sisi ikatan pernikahan, di mana yang melahirkan itu juga ada
hubungan nikah, maka anak yang dilahirkan itu juga anaknya, kalau dilihat dari
asal bibit, anak yang dilahirkan itu menjadi anak tiri dan suami yang mempunyai
sperma. Kalau dilihat dari sisi ia melahirkan, anak tersebut menjadi anak
kandungnya.
1.3.Pada
wanita lain yang tidak mempunyai ikatan nikah
Sebagaimana pada
poin (1.2), di atas, anak tersebut dapat diqiyaskan dengan anak sesusuan karena
wanita yang melahirkan ini hanya dititipi embrio hasil pertemuan sperma dan
ovum pasangan yang terikat akad nikah.[46]
2. Anak
hasil pembuahan sperma dan ovum yang tidak memiliki ikatan nikah.
Yang tergolong pada model ini, sebagaimana uraian di atas,
adalah:
2.1.Sperma
suami yang sudah meninggal dengan ovum isteri dan ditanamkan pada rahim isteri.
2.2.Sperma
laki-laki lain dengan ovum wanita yang tidak bersuami dan ditanamkan pada rahim
wanita yang tidak bersuami tersebut.
2.3.Sperma
suami dengan ovum wanita lain dan ditambahkan pada rahim isteri.
2.4.Sperma
laki-laki lain dengan ovum isteri dan ditanamkan pada rahim isteri.
2.5.Sperma
laki-laki lain dan ovum wanita lain (tidak ada ikatan nikah) dan ditanamkan
pada rahim isteri.
Secara umum,
pembuahan sperma dan ovum pada semua jenis di atas dapat dikatagorikan sebagai
zina. Di antara dalil yang mengharamkan pembuahan sperma dan ovum yang tidak
memiliki ikatan nikah ialah Sabda Rasulullah S.a.w. yang berbunyi:
لاَيَحِلٌ
لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِ للّهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ أَنْ يَسْقِى مَاؤَهُ زَرْعَ
غَيْرِهِ. اخرجه ابو د وود والترمذىوصححه ابن حبا ن وحسنه البز ار
Tidak halal (diharamkan) bagi seseoranng yang beriman
kepada Allah swt dan hari kemudian air (sperma)nya menyirami tanaman orang lain
(rahim wanita lain). (Hadis riwayat Abu Daut, Turmudzi dan dianggap sahih oleh
Ibn Hibban, tapi dianggap Hasan oleh al-Bazzar).[47]
Penutup
Kesimpulan
Pelaksanaan inseminasi (bayi tabung)
buatan pada manusia yang embrionya berasal dari pembuahan sperma dan ovum
pasangan yang memiliki ikatan yang sah, hukumnya halal. Dasar dijadikan alasan
untuk menghukumi halal terdapat perbuatan ini ialah adanya darurat karena untuk
kepentingan pengobatan.
Saran
1. Sebelum
melaksanakan pernikahan, calon suami isteri sebaiknya memeriksakan diri ke
dokter ahli mengenai kemungkinan kemandulan salah satu pihak, sementara
kehadiran anak dalam rumah tangga sangat didamkan.
2. Dalam
pengambilan ovum tidak lepas dari melihat, meraba bahkan mungkin memasukan
sesuatu alat kedalam aurat besar wanita, maka sebaiknya ditangani oleh dokter
ahli yang wanita pula.
Daftar Pustaka
Statistik NTR dalam
problema pelaksanaan UU perkawinan dan pembinaan keluarga, ( BP 4 Pusat:
Jakarta,1977), h.
Daniel Rumondor, Jangan
Membunuh: Tinjauan Etis Terhadap Beberapa Praktek Kedokteran, (Jakarta:Andi,
1998).
Daniel Rumondor, Jangan
Membunuh: Tinjauan Etis Terhadap Beberapa Praktek Kedokteran, (Jakarta:Andi,
1998).
Wawancara dengan kepala
Makmak Terpadu Imuno Endokrinologi Fakultas Kedokteran UI dan staff, April-Mei
1990. Lihat juga “Dari Bayi Tabung ke Puspitek Medik”,Kompas (Jakarta), 22
Februari 1989,h.10.
B.Michael
Beding,”Menyenggol Bayi Tabung”, Merdeka (Jakarta),25 Maret 1980.
Nukman
Moeloek “INseminasi (Permainan) Buatan dari Suami pada Pasangan Mandul”, Proses
Reproduksi, Kesuburan dan seks Pria dalam Perkawinan, (Jakarta Fakultas
Kedokteran UI, 1985), h.198.
Ali
Akbar, Mimbar Ulama, loc.cit, Lihat juga Ahmad W. Praktiknya, “Inseninasi,
Inseminasi buatan dan Bayi Tabung” Bayi Tabung dan Pencangkokan dalam Sorotan
Hukum Islam, (Yogyakarta: Persatuan, 1980), h.53.
John
M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indoseia, (Jakarta: Gramedia, 1983),
Cetakan XII, h.324.
Djamalin
Djanah, Mengenai Inseminasi Buatan, (Jakarta: Simplek, 1985), h.7.
Kompas 16 september
1987 h.6 dan 6 mei 1988, h.1 dan 8.
Problematika Hukum
Islam Kontemporer, Chuzaimah T.Yanggo, Hafiz Anshary, Pustaka
Firdaus.LSIK.Jakarta.2002
[1] Hai manusia, sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuu-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.
[2]
Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang laki-laki dan perempuan.
[3] Lihat Q.S. 3:14; Menjadi
tampak indah bagi manusia kecintaan kepada yang diingininya:
perempuan-perempuan , putera-putera …
[4] Lihat Q.S. 17:32;
janganlah kamu mendekati perbuatan zina; sungguh itu perbuatan keji, dan jalan
yang buruk (untuk kejahatan yang lain).
[5]
Lihat Q.S. 4:3; Kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai …
[6] Pada satu sisi kehadiran
anak juga merupakan ujian. Lihat firman Allah sbb.: Dan ketahuilah bahwa
hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi
Allah-lah pahala yang besar. Q.S. Al-Anfal (8):28. Sesungguhnya hartamu dan
anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.
Q.S. Al-Taghabun (64):15.
[7]
Asri Rasad, Segi Filsafat dan Manfaat dari program Fertilitas in Vitro,
Simposium Sehari Pengembangan Penanganan Fertilitasi dan Fertilisasi Vitro di
Semarang, 4 Juli 1987.
[8]
Statistik NTR dalam problema pelaksanaan UU perkawinan dan pembinaan keluarga,
( BP 4 Pusat: Jakarta,1977), H
[9]
Daniel Rumondor, Jangan Membunuh: Tinjauan Etis Terhadap Beberapa Praktek
Kedokteran, (Jakarta:Andi, 1998).
[10]
Daniel Rumondor, Jangan Membunuh: Tinjauan Etis Terhadap Beberapa Praktek
Kedokteran, (Jakarta:Andi, 1998).
[11]
Wawancara dengan kepala Makmak Terpadu Imuno Endokrinologi Fakultas Kedokteran
UI dan staff, April-Mei 1990. Lihat juga “Dari Bayi Tabung ke Puspitek
Medik”,Kompas (Jakarta), 22 Februari 1989,h.10.
[12]
Ibid
[13]
B.Michael Beding,”Menyenggol Bayi Tabung”, Merdeka (Jakarta),25 Maret 1980.
[14]
Nukman Moeloek “INseminasi (Permainan) Buatan dari Suami pada Pasangan Mandul”,
Proses Reproduksi, Kesuburan dan seks Pria dalam Perkawinan, (Jakarta Fakultas
Kedokteran UI, 1985), h.198.
[15][15] Ali Akbar, Mimbar Ulama, loc.cit,
Lihat juga Ahmad W. Praktiknya, “Inseninasi, Inseminasi buatan dan Bayi Tabung”
Bayi Tabung dan Pencangkokan dalam Sorotan Hukum Islam, (Yogyakarta: Persatuan,
1980), h.53.
[16]
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indoseia, (Jakarta: Gramedia,
1983), Cetakan XII, h.324.
[17]
Djamalin Djanah, Mengenai Inseminasi Buatan, (Jakarta: Simplek, 1985), h.7.
[18]
Kompas 16 september 1987 h.6 dan 6 mei 1988, h.1 dan 8.
[19]
Ibid
[20]
Pikiran Rakyat, 11 Agustus 1988, h.9, Pelita, 23 September 1978, h.4.
[21]
Wawancara dengan Kepala Makmal Terpadu
FKUI , Kompas 22 Februari 1989, h.10.
[22]
Pelita, 17 Juli 1984, h.4.
[23]
Berita Buana , 20 Agustus 1984, h.4.
[24]
Pelita, 17 Juli 1984, h.5.
[25]
Berita Buana, 28 Agustus 1982, h.1.
[26]
Pertiwi 41, 16-19 November 1987,h.42.
[27]
Soegiarto S. dan TZ Yacoeb (Ed)., Program Fertilisasi in Vitro Fakultas
kedokteran UI, (Jakarta: Makmal Terpadu Imuno Endokrinologi FKUI, h.6.
[28]
Di antara firman Allah SWT yang memerintahkan untuk memelihara aurat ialah: Katakanlah kepada
laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya: yang demikia itu adalah lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Q.S. Al-Nur (24):30. Katakanlah kepada
wanita beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasaannya, kecuali yang (biasa)
tampak daripadanya …. (Q.S. Al-Nur (24):31).
[29]
Abd al-Rahman al-Jaziry, kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar
Ihya’ al-Turats al-Araby, TT), Jus V, h.54.
[30]
Ibid
[31]
Ibid
[32]
Yusuf al-Qardhawy, Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Beirut Al-Maktab
al-Islamy, 1400H/1980M), Cetakan XIII, h.150.
[33]
Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthy,
Al-Asybah wa al-Nadhair fi Qawaid wa Furu’ Fiqh al-Syafi’iyyah, (Mesir: Dar
Ihya al-Kutub al-Arabiyyah Isa al-baby al-Halaby, TT),h.93.
[34]
Ibid. h.97
[35]
Ali Akbar, Mimbar Ulama, op.cit., h.31.
[36]
Ibid
[37]
Soegiharto S. dan TZ Yacoeb, program …., op.cit., h.7.
[38]
Ibid
[39]
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1403H/1983M). Jus II,
Cetakan IV, h.367-368.
[40]
Ibid
[41]
Ali Ahmad al-Jurjawy, Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, (Beirut: Dar
al-Fikr, TT), Jus II, h.290-298.
[42]
Yusuf al-Qardhawy, Al-Halal …., op.cit.,
h.166.
[43]
Taqiy al—Din Abi Bkr Ibn Muhammad al-Husainy, Kifayat al-Akhyar fi Hill Ghayat
al—Iktishar, (Beirut: Dar al-Fikr, TT), JusII,h.184.
[44]
Departemen Kesehatan RI, Laporan Lengkap Simposium Abortus, (Jakarta, 1965)
h.138.
[45]
Farid laksamana,”Pendidikan Kehidupan Berkeluarga”. Anak lelaki atau perempuan?
Bagaimana Memilih Jenis Kelamin Bayi Anda? (Jakarta, 1981) Cetakan II, h.112.
[46]
Ahmad Ibn Ali Muhammad Ibn Hajar al-Asqalany, Subul al-Salam, (kairo:
Al-Masyhad al-Husainy, TT), Jus III, h.206.
[47]
Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthy, al-Jami’ al-Shaghir fi
Ahadist al-Basir al-Nadzir, (Beiru: Dar al-Fikr, TT), Jus II, h.150.
komplit..thanx
BalasHapus