Rabu, 01 Februari 2012

Inseminasi Buatan Pada Manusia Menurut Tinjauan Hukum Islam



I.    Pendahuluan
Al-Qur’n surat 49:13[1] dan 75:39[2] menyebutkan bahwa Allah SWT menjadikan manusia kepada dua jenis: laki-laki dan perempuan. Kedua jenis kelamin tersebut masing-masing diberi naluri saling mencintai,[3] dan sebagai buahnya manusia di dunia ini dapat berkembang baik. Untuk memperoleh keturunan yang sah, sebelumnya manusia diperintahkan membentuk rumah tangga melalui akad nikah dengan aturan yang telah ditentukan. Hubungan jenis kelamin itu jika tanpa didahului akad nikah tergolong perbuatan zina. Dalam Islam, zina dilarang dan hukumnya haram.[4]
Agar tercipta rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, Allah SWT dan Rasul-Nya memberikan petunjuk agar sebelum perkawinan memilih calon yang baik.[5] Diantara kebahagiaan dan kesejahteraan rumah tangga adalah hadirnya anak seperti yang didambakan.[6] Pada kenyataannya, kehadiran anak yang didambakan itu ada yang tidak terwujud.
Prof. Dr .Asri Rasad, MSc, PhD, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyatakan bahwa setidaknya ada 10 – 20 % pasangan suami isteri yang mengalami kesulitan memperoleh keturunan. Kesulitan memperoleh keturunan bisa dikarenakan beberapa sebab. Ada sebab yang terdapat di pihak suami dan ada pula yang terdapa di pihak isteri.[7] Klasifikasi penyebab perceraian yang dibuat Kantor Urusan Agama hanya menyebut secara umum tentang sebab-sebab perceraian yaitu: 1) Meninggalkan kewajiban, 2) Krisis akhlak, 3) Biologis, 4) Dimadu, 5) Politis.[8]
Sebagai akibat dari ketidak hadiran anak dalm satu keluarga, setidaknya keluarga tersebut akan mencari beberapa alternatife misalnya: 1) Menyerah kepada nasib, 2) Adopsi, 3) Cerai, 4) Poligami , 5) Inseminasi buatan.
Mengenai alternatif terakhir (Inseminasi buatan) yang nota bene penemuan dibidang teknologi kedokteran, masih banyak persoalan, terutama jika ditinjau dari segi hokum agama. Oleh sebab itu makalah ini bertujuan melacak pelaksanaannya. Apakah inseminasi buatan dapat dibenarkan oleh hokum islam? Apakah ia menyebabkan pembunuhan? Apakah tidak merupakan perzinaan? Bagaimana status anak yang dihasilkannya?

II.    Seluk Beluk Inseminasi Buatan
A. Latar Belakang Pelaksanaan Inseminasi Buatan
Untuk memahami secara pasti latar belakang pelaksanaan Inseminasi buatan mengalami kesulitan karena tidak ada kesepakatan siapa penemu pertamanya. Daniel Rumondor[9] memberikan isyarat bahwa inseminasi buatan agaknya diilhami oleh keberhasilan Syeikh-syeikh Arab meperanakan kuda sejak tahun 1322. Praktek inseminasi buatan pada manusia secara tidak langsung terkandung dalam cerita Midrash di mana Ben Sirah dikandung secara tidak sengaja karena ibunya memakai air bak yang sudah tercampur sedikit air mani. John Hunter, seorang guru dari Philadelphia pada tahun 1785 berhasil mengadakan inseminasi buatan terhadap isteri seorang pedagang kain di London. Kemudian, eksperimen yang berhasil di Perancis diikuti oleh laporan dokter Amerika pada tahun 1866 bahwa ia berhasil melakukannya sebanyak 55 pada 6 orang wanita dan bayi inseminasi buatan pertama di Negara itu.[10]
Di Indonesia, keberhasilan inseminasi buatan ditandai dengan lahirnya Akmal dari pasangan Linda-Soekotjo pada 25 Agustus 1987 dengan teknik GIFT, dan Dimas Aldila Akmal Sudiar, lahir pada 2 Oktober 1988, dari pasangan Wiwik Juwari-Sudirman dengan teknik IVF. Keduanya adalah hasil kerja tim Makmal Terpadu Imuno Endokrinologi Fakultas Kedokteran UI.[11] Latar belakang dikembangkannya inseminasi buatan di Indonesia, sebagaimana dinyatakan oleh Dr. H. Enud J. Surjana (Ketua Makmal Terpadu FKUI) dn Prof.dr. Asri Rasad (Dekan Fakultas Kedokteran UI) adalah semata-mata untuk membantu pasangan suami istri yang sulit memperoleh keturunan.[12]
Berdasarkan gambaran singkat di atas, terlihat bahwa Latar belakang dilakukannya inseminasi buatan dapat bermacam-macam. Inseminasi buatan yang dilakukan Steptoe dan yang dilakukan tim Makmal Terpadu FKUI lebih banyak ditunjukan kepada pasangan suami isteri yang telah lama berumah tangga namun kesulitan memperoleh keturunan. Sementara, menurut  Stalin, inseminasi buatan ditunjukan untuk menghindarkan kepenuhan manusia akibat perang. Adapun menurutKruschov, inseminasi buatan akan dapat membentuk generasi jenius. Hasil gagasan Kruschov ini sampai sekarang tidak diperoleh berita. Gagasan semacam ini juga pernah dilontarkan oleh Robert Graham dari California, Amerika Serikat yang ingin mengumpulkan sperma para pemenang hadiah Nobel agar tercipta bayi super.[13] Latar belakang lain kemungkinan dilaksanakannya inseminasi buatan adalah untuk memilih jenis kelamin tertentu dari anak yang akan dilahirkan.[14] Dipihak lain, ia juga dapat dijadikan sebagai sarana pengembangan teknologi di bidang kedokteran.
Latar belakang melakukan inseminasi buatan adalah keinginan-keinginan sebagai berikut:

1.      Keinginan memperoleh atau menolong memperoleh keturunan;
2.      Menghindarkan kepunahan manusia
3.      Memperoleh generasi jenius atau orang super;
4.      Memilih suatu jenis kelamin;
5.      Mengembangkan teknologi kedokteran.

B.     Pengertian dan Teknik Inseminasi Buatan
Inseminasi buatan merupakan terjemahan dari istilah Inggris artificial insemination. Dalam bahasa Arab disebut al-talqih al-shina’iy. Dalam bahasa Indonesia ada yang menebutnya permainan buatan, pembuahan buatan,[15] atau penghamilan buatan.[16]
Batasannya dirumuskan dengan redaksi yang bermacam-macam. Drh.Djamalin Djanah mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan inseminasi buatan ialah “Pekerjaan memasukan mani (sperma atau semen) ke dalam rahim (kandungan) dengan menggunakan alat khusus dengan maksud terjadi pembuahan”.[17]
Secara umum dapat diambil pengertian bahwa inseminasi buatan adalah suatu cara atau teknk memperoleh kehamilan tanpa melalui persetubuhan (coitus). Adapun tekniknya ada dua cara, yaitu:

1.      Fertilasi in Vitro (FIV)
Fertilasi in Vitro (In Vitro Fertilization) ialah usaha fertilasi yang dilakukan di luar tubuh, di dalam cawan biakan (petri disk), dengan suasana yang mendekati ilmiah. Jika berhasil, pada saat mencapai stadium morula, hasil fertilasi ditandur-alihkan ke endometrium rongga uterus. Teknik ini biasanya dikenal dengan “bayi tabung” atau pembuahan di luar tubuh.

2.   Tandur Alih Gamet Intra Tuba (TAGIT)
Tandur Alih Gamet Itra Tuba (Gamet Intra Fallopian Transfer) ialah usaha mempertemukan sel benih (gamet), yaitu ovum dan sperma, dengan cara menyemprotkan campuran sel benih itu memakai kanul tuba ke dalam ampulla. Metode ini bukan metode bayi tabung karena pembuahan terjadi di saluran telur (tuba fallopi) si ibu sendiri.[18]
Di luar negeri teknik TAGIT lebih berhasil disbanding dengan FIV. Perbandingannya cukup mencolok yaitu 40:20.[19] Teknik yang terbaok dari keduanya tergantung pada keadaan pemilik sperma dan ovum serta keadaan kandungan.

C.     Kasus-kasus Inseminasi Buatan
Untuk memperoleh gambaran pelaksanaan inseminasi buatan, berikut ini dikemukakan beberapa kasus.
Tanggal 25 Juli 1978 Ny. Lesley Brown melahirkan seorang anak, Louise Brown, dengan hasil inseminasi buatan yang diusahakan oleh tim Dr. Patric Steptoe dirumah sakit Oldham, Inggris, Sperma diambil dari suaminya sendiri.[20]
Di Indonesia, keberhasilan inseminasi buatan ditandai oleh lahirnya Akmal pada 25 Agustus 1987. Ia lahir dari pasangan suami isteri Linda Soekotjo, dengan teknik TAGIT. Adapun dengan teknik FIV tim bayi tabung Indonesia yang diketahui oleh Dr. H.Enud J. Surjana dari Fakultas Kedokteran UI menghasilkan kelahiran Dimas Aldila Akmal Sudiar pada 2 Oktober 1988, dari pasangan suami-isteri Wiwik Juwari-Sudirman.[21]
Inseminasi buatan yang berasal dari sari sperma suami yang telah  meninggal dan ovum isterinya dapat dilihat dari kasus Mario Rios asal Chili dengan Elsa asal Argentina.[22] Pengadilan Perancis akhirnya juga memutuskan bahwa janda muda Corinne Parpalaix boleh menggunakan sperma suaminya yang telah meninggal.[23] Dan Kim Casali yang ditinggal mati suaminya, Roberto, juga berhasil melahirkan Milo.[24]
Dengan inseminasi buatan, wanita yang tidak bersuami akhirnya juga dapat hamil dan melahirkan dengan jasa Bank Sperma. Di antaranya adalah Dr. Afton Blake, seorang psikolog.[25] Di Amerika Serikat cara semacam ini dilakukan sedikitnya 9% dari mereka yang melakukan inseminasi buatan.
Pada 1 Oktober 1987 dunia digemparkan oleh lahirnya anak kembar tiga dari neneknya sendiri pasangan Karen-Alcino ingin memperoleh ketrunan, tetapi setelah dilakukan inseminasi buatan, Karen dinyatakan tidak baik  untuk hamil. Akhirnya neneknya, ibu Karen, Pat Anthony bersedia ditempati sperma dan ovum yang telah dibuahi itu.[26]
Contoh kasus di atas, jika diklasifikasi menurut bibit (sperma dan ovum) yang digunakan, adalah sebagai berikut:
1.      Antara sperma dari suami dan ovum dari isterinya yang kemudian ditanam dalam rahim isterinya.
2.      Antara sperma yang telah dibekukan dalam Bank Sperma dari suaminya yang meninggal dan ovum isterinya kemudian ditanam dalam rahim isterinya.
3.      Antara sperma dari laki-laki yang tidak diketahui asalnya dan ovum wanita yang tidak bersuami kemudian ditanam dalam rahim wanita itu.
4.      Antara sperma suami dan ovum isteri kemudian ditanam dalam rahim orang lain.
Klasifikasi lain yang contoh kasusnya belum ditemukan bisa saja ditambahkan dengan:
1.      Antara sperma suami dan ovum wanita lain yang kemudian ditanamkam dalam rahim isteri.
2.      Antara sperma laki-laki lain dan ovum isteri ditanam dalam rahim isteri.
3.      Antara sperma laki-lai lain dan ovum wanita lain kemudian ditanam dalam rahim isteri.
4.      Antara sperma suami dan ovum isteri kemudian ditanam dalam rahim isteri lain (bila poligami).

D.    Permasalahan Hukum Inseminasi Buatan
Permasalahn hokum akibat inseminasi buatan seperti tergambar di atas antara lain:
1.      Masalah jumlah sel telur yang harus diambil, karena dalam proses pembuahan in vitro, sel telur yang diambil lebih dari satu agar terhindar dari kegagalan.
2.      Masalah sel telur yang dibuahi itu jika tidak dimusnahkan akan dibekukan  yang suatu saat dapat dipergunakan lagi.
3.      Masalah sperma yang dijadikan donor karena berbagai alsan.
4.      Masalah ibu pengganti (surrogate motherhood) yang ditempati hasil pembuahan sperma dan ovum orang lain.

III.    Analisi Pelaksanaan Inseminasi Buatan menurut tinjauan Hukum Islam.
Pelaksanaan inseminasi buatan membawa dilemma terutama jika dilakukan dengan hokum Islam. Menganalisis permasalahan tersebut, yang menyangkut hal-hal seperti:
(1). Pengambilan bibit, (2) penanaman bibit, (3) asal penempatan bibit, dan (4). status anak yang dilahirkan.
A. Pengambilan Bibit
Yang dimaksud dengan pengambilan bibit di sini adalah pengambilan sel telur (ovum pick up) dan pengambilan / pengeluaran sperma.
1.   Pengambilan Sel Telur (Ovum Pick Up = OPU)
Dalam inseminasi buatan ada dua cara untuk pengambilan sel telur, yaitu dengan Laparoskopi dan USG (Ultrasonografu).[27] Dengan cara laparoskopi folikel  akan tampak jelas pada lapang pandangan laparoskopi kemudian indung telur dipegang dengan penjepit dan dilakukan persiapan. Cairan folikel yang berisi sel telur ditampung dalam tabung. Cairan tersebut diperiksa di bawah mikroskop untuk meyakinkan apakah sel telur ini sudah ditemukan. Adapun cara USG, folikel yang tampak di layar ditusuk dengan jarum melalui vagina kemudian dilakukan pengisapan folikel yang berisi sel telur seperti cara pengisapan laparoskopi.
Yang perlu dianalisis pada pengambilan ovum tersebut adalah persoalan melihat aurat sendiri.[28] Syafi’iyah dan Hanabilah dalam satu riwayat menyatakan bahwa semua badan wanita merdeka adalah aurat[29] sedang menurut Hanafiyah dan Malikiyah menyatakan bahwa semua bdan wanita adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangan.[30] Aurat itu dilarang dibuka di hadapan laki-laki lain. Akan tetapi mereka sepakat kalau karena dharurat seperti berobat, boleh dibuka.[31] Yusuf al-Qardhawy dalam kitabnya Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam[32] menyatakan bahwa dalam kondisi dharurat atau hajat, memandang atau memegang aurat diperbolehkan dengan syarat keamanan dan nafsu birahi terjaga.
Dalam praktek pengambilan sel telur seperti dijelaskan di atas, para dokter ahli tidak lepas dari melihat bahkan meraba atau memasukkan sesuatu dalam aurat besar wanita. Di samping itu para dokter sering juga berkhalwat dengan pasien ketika mendiagnosa penyakit. Pelaksanaan tersebut jika diniati dengan baik, terjaga keamanan, dan tidak merangsang sahwat dapat dikatagorikan sebagai hal yang dharurat. Islam memperbolehkannya karena sesuai dengan kaidah ushul fiqh.[33]

الضّرُوْرَةُ تُبِيْحُ المَحْظُورَاتِ
Keadaan dharurat membolehkan sesuatu yang dilarang.

Demi mencegah fitnah dan godaan setan, maka sebaiknya sewaktu dokter memeriksa pasien dihadiri orang ketiga dari keluarga maupun tenaga para medis, sesuai dengan kaidah ushul:[34]

دَرْأُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَىمِنْ جَلْبِ المَصَالِحِ
Menghindari kesusahan lebih utamakan dari mengambil maslahat.

Akan sangat baik jika dokter pemeriksa itu dari jenis kelamin yang sama. Sulit dibayangkan jika dalam kondisi dharurat seperti itu masih diharamkan melihat aurat besar wanita. Sebab, bagaimana dengan wanita yang akan melahirkan?
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa pengambilan sel telur (ovum) dalam pelaksanaan inseminasi buatan dihalalkan karena pertimbangan dharurat. Disamping kondisi itu, dokter pemeriksa pun harus tetap menjaga Etik Kedokteran.

2.Pengeluaran Sperma
Dibanding dengan pengambilan sel telur, pengeluaran dan pengambilan sperma relative lebih mudah. Untuk memperboleh sperma dari laki-laki dapat dilakukan antara lain dengan: (a) Istimna’ (manstrubasi, onani), (b) ‘Azl coitus interruptus: senggama terputus), (c) Dihisap langsung dari pelir (testis), (d) Jima’ dengan memakai kondom, (e) Sperma yang ditumpahkan ke dalam vagina yang dihisap dengan cepat dengan spuit, dan (f) Sperma mimpi malam.[35]
Untuk keperluan inseminasi buatan, cara yang terbaik adalah mastrubasi (onani).[36] Program Fertilisasi in Vitro (FIV) Fakultas Kedokteran UI juga menyaratkan agar sperma untuk keperluan inseminasi buatan diambil atau dikeluarkan dengan cara masturbasi dan dilakukan di Rumah Sakit. Pengeluaran sperma dengan cara ‘azl (senggama terputus) tidak diperkenankan karena akan mengurangi jumlah sperma yang didapat.[37] Di dalam teknik FIV hanya diperlukan antara 50.000-100.000 sperma motil sedang pada senggama normal diperlukan 50 juta – 200 juta sperma.[38]
Yang menimbulkan persoalan dalam hokum Islam adalah bagai mana hokum onani dalam kaitan dengan pelaksanaan inseminasi tersebut.
Al-Qur’an Surat 23:5, 24:30, 31, dan 70:29 Allah SWT memerintahkan agar manusia menjaga kemaluannya kecuali kepada yang telah dihalalkan. Secara umum  Islam memandang bahwa melakukan onani tergolong perbuatan etis. Mengenai hokum, fuqaha berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan secara mutlak, ada yang mengharamkan secara mutlak, ada yang mengharamkan pada hal-hal tertentu, ada yang mewajibkan juga pada hal-hal tertentu, dan ada pula yang menghukumi makruh.[39] Sayid Sabiq menyatakan bahwa Malikiyah, Syafi’iyah, dan Zaidiyah menghukumi haram. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa Allah SWT memerintahkan menjaga kemaluan dalam segala keadaan kecuali kepada isteri atau budak yang dimilikinya. Ahnaf berpendapat bahwa onani memang haram, tetapi kalau karena tajut zina, maka hukumnya menjadi wajib. Kaidah ushul fiqh menyebutkan:

اِرْتِكابُ أَخَفِّ الضّرُ ريْنِ وَاجِبٌ
   Mengambil yang lebih ringan dari suatu kemudharatan adalah wajib

Kalau karena alasan takut zina, atau kesehatan, sedangkan tidak memiliki isteri atau amah (budak) dan tidak mampu kawin, maka menurut Hanabilah onani diperbolehkan. Kalau tidak ada alasan yang senada dengan itu maka hukumnya haram. Ibn Hazim berpendapat bahwa onani hukumnya makruh, tidak berdosa tetapi tidak etis. Di anatara yang memakruhkan onani itu jga Ibn Umar dan Atha’. Berbeda pendapat dengan pendapat diatas, Ibn Abbas, Hasan dan sebagian besar Tabi’in menghukumi mubah. Al-Hasan justru mengatakan bahwa orang-orang Islam dahulu melakukan onani pada masa peperangan. Nujahid juga menyatakan bahwa orang Islam dahulu memberikan toleransi kepada para pemudanya melakukan onani. Hukumnya mubah, baik buat laki-laki maupun perempuan.[40] Ali Ahmad al-Jurjawy dalam kitabnya Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuhu[41]setelah menjelaskan kemadharatan onani mengharamkan perbuatan ini, kecuali kalau karena kuatnya syahwad dan tidak sampai menimbulkan  zina. Agaknya Yusuf al-Qardhawy juga sependapat  dengan Hanabilah mengenai hal ini,[42] al-Imam Taqiyuddin Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husainy[43] juga mengemukakan kebolehan onani yang dilakukan oleh isteriatau amah-nya  karena itu memang tempay kesenangannya:

لَوِ اسْتَمْنَى الرّجُلُ بِيَدٍ امْرَأَتِهِ أَوْأَمَتِهِ جَازَ لِأَ نّهاَ مَحَلّ اِسِتِمْتا عِهِ
            Seorang laki-laki dibolehkan mencari kenikmatan melalui tangan isteri atau hamba sahayanya karena di sanalah (salah satu) dari tempat kesenangannya.

             Memperhatikan pendapat-pendapat mengenai hokum onani di atas, maka dalam kaitan dengan pengeluaran/pengambilan sperma untuk inseminasi buatan, boleh dilakukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengambilan sel telur (ovum) dan sperma untuk keperluan inseminasi buatan – dengan illat hajah tertentu – dapat dibenarkan oleh hukum Islam.

B. penanaman Bibit (Embryo Transfer)
Setelah sel telur dan sperma didapat, proses inseminasi buatan seperti telah disinggung pada uraian sebelumnya, dilakukan pencucian sperma dengan tujuan memisahkan sperma yang motil dengan sperma yang tidak motil/mati. Sesudah itu  antara sel telur dan sperma dipertemukan. Jika dengan teknik in vitro, kedua calon bibit tersebut dipertemukan dalam cawan petri, tetapi jika teknik TAGIT sperma langsung disemprotkan ke dalam rahim. Untuk menghindari kemungkinan kegagalan, penanaman bibit biasanya lebih dari satu. Embrio yang tersisa kemudian disimpan beku atau dibuang. Yang menjadi persoalan dalam kaitan dengan hukum Islam di sini adalah bagaimana hokum pembuangan embrio tersebut. Apakah hal ini dapat digolongkan kepada pembunuhan?
Sebagai anlisis, patut dicatat bahwa embrio tersebut tidak berada dalam rahim wanita. Kalau abortus diartikan sebagai keluarnya isi rahim ibu yang telah mengandung,[44] maka pembicaraan ini tidak tergolong berada rahim waita.


C. asal dan Tempat Penanaman Bibit
             Sesuai dengan klasifikasi asal dan tempat penanaman bibit yang terdapat dalam pembahasan diatas, berikut akan dianalisis menurut tinjauan hukum Islam.

1.            Bibit dari suami - isteri dan ditanamkan pada isteri
            Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa proses kejadian manusia, baik menurut fuqaha maupun ahli kedokteran, dimulai dari pembuahan hasil pertemuan sperma dan ovum. Secara alami, pertemuan sperma dan ovum itu melalui sanggama. Maka dapat di pahami bahwa di antara manfaat sanggama adalah mempertemukan sperma dengan ovum.[45] Dalam Islam, bersanggama hanya diperbolehkan setelah didahului akad nikah yang sah.

2.         Bibit dari Suami-isteri dan ditanamkan pada orang lain.
            Dalam kasus ini Lembaga Islam OKI menghukumi haram karena dikhawatirkan percampuran nasab dan hilangnya keibuan serta halangan syara’ lainnya.

3. Sperma suami yang telah meninggal dan ovum isteri ditanam pada rahim isteri
            Di antara sebab putusnya hubungan pernikahan adalah salah seorang (suami atau isteri) meninggal. Bagi wanita (janda) diperbolehkan nikah kepada orang lain lagi setelah menunggu masa iddah.

4.      Sperma laki-laki lain dibuahkan dengan ovum wanita lain dan ditanamkan pada rahim wanita yang tidak bersuami.
            Di atas telah dinyatakan bahwa pembuahan hanya dihalalkan bagi orang yang memiliki iktan pernikahan yang sah.

5.      Sperma suami yang dibuahkan dengan ovum wanita lain (donor) dan ditanam pada rahim isteri.
            Walaupun isteri sendiri yang dijadikan tempat penanaman embrio, tetapi karena konsepsinya berasal dari pembuahan bibit yang tidak memiliki ikatan pernikahan yang sah, maka inseminasi model ini juga tidak dapat dibenarkan.

6.      Sperma laki-laki lain (donor) dibuahkan dengan ovum isteri dan ditanamkan pada rahim isteri
            Inseminasi model ini sama halnya dengan inseminasi model kelima, yaitu ovum dan tempat penanaman bibit ada pada isteri sendiri namun karena sperma dari orang lain maka diharamkan oleh Islam.

7.  Sperma laki-laki lain (donor) dibuahkan dengan ovum wanita lain (donor)dan ditanamkan pada rahim isteri.
            Bibit yang berasal dari donor yang tidak mempunyai ikatan pernikahan yang sah, sebagaimana uraian terdahulu, tidak dapat dibenarkan oleh Islam. Akan tetapi jika bibit berasal dari pasangan suami-isteri yang sah kemudian dititipkan kepada isteri, maka ia hanya menjadi penitipan.

8.   Bibit dari suami-isteri dan dititipkan kepada rahim isteri yang lain (karena poligami)
            Kalau dapat dihindari adanya percecokkan di belakang hari, maka inseminasi model ini dapat disamakan dengan model kedua dan ketujuh. Perbedaannya pada adanya ikatan pernikahan karena poligami.

B. Status Anak Hasil Inseminasi Buatan
             Berdasarkan pengertian di atas, berikut ini akan diuraikan status anak hasil inseminasi buatan yang secara garis besar dibagi menjadi dua: pembuahan sperma dan ovum yang memiliki ikatan menikah dan yang tidak memiliki ikatan nikah.


1.               Anak hasil penanaman sperma ovum yang memiliki ikatan nikah.
             Dalam hal ini penanaman embrio bisa terdapat dalam tiga kemungkinan. Pada rahim isteri sendiri yang memiliki ovum (tidak poligami), pada isteri sendiri yang yidak memiliki ovum (berpoligami), dan pada orang lain.

1.1.   Pada isteri sendiri yang memiliki ovum.
             Status anak untuk inseminasi jenis ini, seperti yang telah disinggung di atas, adalah anak kandung, baik secara genetic maupun hayati.

1.2.Pada isteri sendiri yang tidak memiliki ovum
             Kalau ditinjau secara lahiriah dan hayati, anak tersebut adalah anak milik ibu yang melahirkan. Tetapi jika ditinjau secara hakiki, anak tersebut adalah anak yang mempunyai bibit, karena wanita yang melahirkan itu hanya menerima titipan embrio. Kalau ditinjau dari sisi ikatan pernikahan, di mana yang melahirkan itu juga ada hubungan nikah, maka anak yang dilahirkan itu juga anaknya, kalau dilihat dari asal bibit, anak yang dilahirkan itu menjadi anak tiri dan suami yang mempunyai sperma. Kalau dilihat dari sisi ia melahirkan, anak tersebut menjadi anak kandungnya.   

1.3.Pada wanita lain yang tidak mempunyai ikatan nikah
             Sebagaimana pada poin (1.2), di atas, anak tersebut dapat diqiyaskan dengan anak sesusuan karena wanita yang melahirkan ini hanya dititipi embrio hasil pertemuan sperma dan ovum pasangan yang terikat akad nikah.[46]

2.   Anak hasil pembuahan sperma dan ovum yang tidak memiliki ikatan nikah.
     Yang tergolong pada model ini, sebagaimana uraian di atas, adalah:
2.1.Sperma suami yang sudah meninggal dengan ovum isteri dan ditanamkan pada rahim isteri.
2.2.Sperma laki-laki lain dengan ovum wanita yang tidak bersuami dan ditanamkan pada rahim wanita yang tidak bersuami tersebut.
2.3.Sperma suami dengan ovum wanita lain dan ditambahkan pada rahim isteri.
2.4.Sperma laki-laki lain dengan ovum isteri dan ditanamkan pada rahim isteri.

2.5.Sperma laki-laki lain dan ovum wanita lain (tidak ada ikatan nikah) dan ditanamkan pada rahim isteri.

             Secara umum, pembuahan sperma dan ovum pada semua jenis di atas dapat dikatagorikan sebagai zina. Di antara dalil yang mengharamkan pembuahan sperma dan ovum yang tidak memiliki ikatan nikah ialah Sabda Rasulullah S.a.w. yang berbunyi:

لاَيَحِلٌ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِ للّهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ أَنْ يَسْقِى مَاؤَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ. اخرجه ابو د وود والترمذىوصححه ابن حبا ن وحسنه البز ار

            Tidak halal (diharamkan) bagi seseoranng yang beriman kepada Allah swt dan hari kemudian air (sperma)nya menyirami tanaman orang lain (rahim wanita lain). (Hadis riwayat Abu Daut, Turmudzi dan dianggap sahih oleh Ibn Hibban, tapi dianggap Hasan oleh al-Bazzar).[47]


Penutup
Kesimpulan
     Pelaksanaan inseminasi (bayi tabung) buatan pada manusia yang embrionya berasal dari pembuahan sperma dan ovum pasangan yang memiliki ikatan yang sah, hukumnya halal. Dasar dijadikan alasan untuk menghukumi halal terdapat perbuatan ini ialah adanya darurat karena untuk kepentingan pengobatan.

Saran
1.      Sebelum melaksanakan pernikahan, calon suami isteri sebaiknya memeriksakan diri ke dokter ahli mengenai kemungkinan kemandulan salah satu pihak, sementara kehadiran anak dalam rumah tangga sangat didamkan.
2.      Dalam pengambilan ovum tidak lepas dari melihat, meraba bahkan mungkin memasukan sesuatu alat kedalam aurat besar wanita, maka sebaiknya ditangani oleh dokter ahli yang wanita pula.


Daftar Pustaka
Statistik NTR dalam problema pelaksanaan UU perkawinan dan pembinaan keluarga, ( BP 4 Pusat: Jakarta,1977), h.
Daniel Rumondor, Jangan Membunuh: Tinjauan Etis Terhadap Beberapa Praktek Kedokteran, (Jakarta:Andi, 1998).
Daniel Rumondor, Jangan Membunuh: Tinjauan Etis Terhadap Beberapa Praktek Kedokteran, (Jakarta:Andi, 1998).
Wawancara dengan kepala Makmak Terpadu Imuno Endokrinologi Fakultas Kedokteran UI dan staff, April-Mei 1990. Lihat juga “Dari Bayi Tabung ke Puspitek Medik”,Kompas (Jakarta), 22 Februari 1989,h.10.
B.Michael Beding,”Menyenggol Bayi Tabung”, Merdeka (Jakarta),25 Maret 1980.
Nukman Moeloek “INseminasi (Permainan) Buatan dari Suami pada Pasangan Mandul”, Proses Reproduksi, Kesuburan dan seks Pria dalam Perkawinan, (Jakarta Fakultas Kedokteran UI, 1985), h.198.
Ali Akbar, Mimbar Ulama, loc.cit, Lihat juga Ahmad W. Praktiknya, “Inseninasi, Inseminasi buatan dan Bayi Tabung” Bayi Tabung dan Pencangkokan dalam Sorotan Hukum Islam, (Yogyakarta: Persatuan, 1980), h.53.
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indoseia, (Jakarta: Gramedia, 1983), Cetakan XII, h.324.
Djamalin Djanah, Mengenai Inseminasi Buatan, (Jakarta: Simplek, 1985), h.7.
Kompas 16 september 1987 h.6 dan 6 mei 1988, h.1 dan 8.
Problematika Hukum Islam Kontemporer, Chuzaimah T.Yanggo, Hafiz Anshary, Pustaka Firdaus.LSIK.Jakarta.2002


[1] Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuu-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi Maha Mengenal. 
[2] Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang laki-laki dan perempuan.
[3] Lihat Q.S. 3:14; Menjadi tampak indah bagi manusia kecintaan kepada yang diingininya: perempuan-perempuan , putera-putera …
[4] Lihat Q.S. 17:32; janganlah kamu mendekati perbuatan zina; sungguh itu perbuatan keji, dan jalan yang buruk (untuk kejahatan yang lain).
[5] Lihat Q.S. 4:3; Kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai …
[6] Pada satu sisi kehadiran anak juga merupakan ujian. Lihat firman Allah sbb.: Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. Q.S. Al-Anfal (8):28. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. Q.S. Al-Taghabun (64):15.
[7] Asri Rasad, Segi Filsafat dan Manfaat dari program Fertilitas in Vitro, Simposium Sehari Pengembangan Penanganan Fertilitasi dan Fertilisasi Vitro di Semarang, 4 Juli 1987.
[8] Statistik NTR dalam problema pelaksanaan UU perkawinan dan pembinaan keluarga, ( BP 4 Pusat: Jakarta,1977), H
[9] Daniel Rumondor, Jangan Membunuh: Tinjauan Etis Terhadap Beberapa Praktek Kedokteran, (Jakarta:Andi, 1998).
[10] Daniel Rumondor, Jangan Membunuh: Tinjauan Etis Terhadap Beberapa Praktek Kedokteran, (Jakarta:Andi, 1998).
[11] Wawancara dengan kepala Makmak Terpadu Imuno Endokrinologi Fakultas Kedokteran UI dan staff, April-Mei 1990. Lihat juga “Dari Bayi Tabung ke Puspitek Medik”,Kompas (Jakarta), 22 Februari 1989,h.10.
[12] Ibid
[13] B.Michael Beding,”Menyenggol Bayi Tabung”, Merdeka (Jakarta),25 Maret 1980.
[14] Nukman Moeloek “INseminasi (Permainan) Buatan dari Suami pada Pasangan Mandul”, Proses Reproduksi, Kesuburan dan seks Pria dalam Perkawinan, (Jakarta Fakultas Kedokteran UI, 1985), h.198.
[15][15] Ali Akbar, Mimbar Ulama, loc.cit, Lihat juga Ahmad W. Praktiknya, “Inseninasi, Inseminasi buatan dan Bayi Tabung” Bayi Tabung dan Pencangkokan dalam Sorotan Hukum Islam, (Yogyakarta: Persatuan, 1980), h.53.
[16] John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indoseia, (Jakarta: Gramedia, 1983), Cetakan XII, h.324.
[17] Djamalin Djanah, Mengenai Inseminasi Buatan, (Jakarta: Simplek, 1985), h.7.
[18] Kompas 16 september 1987 h.6 dan 6 mei 1988, h.1 dan 8.
[19] Ibid
[20] Pikiran Rakyat, 11 Agustus 1988, h.9, Pelita, 23 September 1978, h.4.
[21] Wawancara dengan Kepala Makmal Terpadu  FKUI , Kompas 22 Februari 1989, h.10.
[22] Pelita, 17 Juli 1984, h.4.
[23] Berita Buana , 20 Agustus 1984, h.4.
[24] Pelita, 17 Juli 1984, h.5.
[25] Berita Buana, 28 Agustus 1982, h.1.
[26] Pertiwi 41, 16-19 November 1987,h.42.
[27] Soegiarto S. dan TZ Yacoeb (Ed)., Program Fertilisasi in Vitro Fakultas kedokteran UI, (Jakarta: Makmal Terpadu Imuno Endokrinologi FKUI, h.6.
[28] Di antara firman Allah SWT yang memerintahkan untuk  memelihara aurat ialah: Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya: yang demikia itu adalah lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Q.S. Al-Nur (24):30. Katakanlah kepada wanita beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasaannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya …. (Q.S. Al-Nur (24):31).
[29] Abd al-Rahman al-Jaziry, kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Araby, TT), Jus V, h.54.
[30] Ibid
[31] Ibid
[32] Yusuf al-Qardhawy, Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Beirut Al-Maktab al-Islamy, 1400H/1980M), Cetakan XIII, h.150.
[33] Jalal  al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthy, Al-Asybah wa al-Nadhair fi Qawaid wa Furu’ Fiqh al-Syafi’iyyah, (Mesir: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah Isa al-baby al-Halaby, TT),h.93.
[34] Ibid. h.97
[35] Ali Akbar, Mimbar Ulama, op.cit., h.31.
[36] Ibid
[37] Soegiharto S. dan TZ Yacoeb, program …., op.cit., h.7.
[38] Ibid
[39] Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1403H/1983M). Jus II, Cetakan IV, h.367-368.
[40] Ibid
[41] Ali Ahmad al-Jurjawy, Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, TT), Jus II, h.290-298.
[42] Yusuf  al-Qardhawy, Al-Halal …., op.cit., h.166.
[43] Taqiy al—Din Abi Bkr Ibn Muhammad al-Husainy, Kifayat al-Akhyar fi Hill Ghayat al—Iktishar, (Beirut: Dar al-Fikr, TT), JusII,h.184.
[44] Departemen Kesehatan RI, Laporan Lengkap Simposium Abortus, (Jakarta, 1965) h.138.
[45] Farid laksamana,”Pendidikan Kehidupan Berkeluarga”. Anak lelaki atau perempuan? Bagaimana Memilih Jenis Kelamin Bayi Anda? (Jakarta, 1981) Cetakan II, h.112.
[46] Ahmad Ibn Ali Muhammad Ibn Hajar al-Asqalany, Subul al-Salam, (kairo: Al-Masyhad al-Husainy, TT), Jus III, h.206.
[47] Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthy, al-Jami’ al-Shaghir fi Ahadist al-Basir al-Nadzir, (Beiru: Dar al-Fikr, TT), Jus II, h.150.

1 komentar: