A. PENAFSIRAN BAHASA
Tahap
terakhir yang merupakan buah dari jerih payah penelitian ialah hasil penelitian
dalam bentuk karya tulis. Betapapun baiknya pelaksanaan tahap sebelumnya dan
bagaimana pun menariknya hasil penelitian itu, penilaian akhirnya hanya dapat
diberikan berdasarkan tulisan yang dihasilkan. Dengan demikian, diperlukan
suatu ramuan lagi yang diperlakukan untuk melaksanakan penelitian, yakni
kemampuan menulis. Ini tentunya berkaitan erat dengan kemampuan bahasa,
kemampuan berpikir logis dan runtut. Selanjutnya, berkaitan pula dengan rasa
bahasa yang dimiliki, kebiasaan membaca, kebiasaan member dan meminta komentar.
Kami
sependapat dengan Babbie yang menekankan perlunya memperhatikan bahasa dalam
penulisan hasil penelitian. Dalam bab The Reporting of Survey Research,
ia menekankan bahwa penulisan penelitian social yang baik memerlukan bahsa
Inggris yang baik (bagi mereka yang bahsa ibunya bahasa Inggris). Angka-angka
dari hasil penelitian yang sudah dihimpun masih memerlukan penjelasan yang
baik. Penggunaan bahasa dari yang rumit, membuat komunikasi terhalang. Karena
itu, untuk memperbaiki gaya bahasa, disarankan agar peneliti membaca buku kecil
karangan William Strunk dan E.B White, The Elements of Style.
Kalau
Babbie melonyarkan saran tersebut kepada ahli-ahli sosial berbahasa Inggris
yang relative banyak membaca dan menulis, tentu hal yang sama sangat diperlukan
oleh para peneliti social di Indonesia. Selaras dengan itu, kami inggin
menyarankan pemakaian buku Gorys Keraf, Komposisi ; sebuah pengantar
kepada Kemahiran Bahasa dan buku Cipta Loka Caraka: Teknik Mengarang.
Perlu
ditekankan di sini bahwa menulis, termasuk bagi kebanyakan penulis, bukanlah
sesuatu yang mudah. Menuangkan pemikiran ke dalam kalimat-kalimat yang baik,
menyusun kalimat ke dalam alinea dan merangkainkan alinea-alinea tersebut,
memerlukan banyak latihan. Jika ingin menghasilkan tulisan yang bermutu, jangan
berharap bahwa karangan selesai sekali jalan. Perbaikan smapai tiga-empat kali
adalah hal yang biasa. Karena itu, dalam peroses perbaikan, siapkanlah gunting,
lem, plester dan scotch-tape. Pelajarilah ilmu membedah draft karangan dengan
sebaik-baiknya. Sejalan dengan itu perlu dipelajari bagaimana mengecek
sumber-sumber referensi dan linteratur guna menghindarkan kecerobohan.
Namun,
dapat ditambahkan bahwa dengan meluasnya penggunaan Komputer dewasa ini, cara
membuat draft karangan sudah jauh lebih sederhana, tidak lagi memerlukan
gunting dan tape, melainkan dengan menggunakan salah satu program yang ada –
Wordstar, Wordstar Profesional, Wordstar 2000 atau lainnya, perbaikan-perbaikan
dapat dilakukan dengan cepat dan rapi.[1]
Para
peneliti dan ilmuan pada umumnya, seyogianya memiliki tingkat kecermatan yang
tinggi. Memintakan saran-saran dengan serius dan menyeminarkan “hasil
sementara” sebelum diterbitkan, perlu sekali dijadikan kebiasaan jika memang berkeinginan
meningkatkan mutu.
B. SIMBOL-SIMBOL ANALISIS ISI
Ada
banyak cara dalam meneliti perilaku manusia. Penelitian dapat menggunakan
metode eksperimental dengan pengamatan di laboratorium, melakukan survey dengan
menggunakan kuesioner, interview secara terstruktur, dan mengamati isi
pembicaraan, tulisan-tulisan dan bentuk dokumentasi yang lain melalui metode
analisis isi.
Metode
analisis isi (content analysis) pada dasarnya merupakan suatu teknik
sistematis untuk menganalisisi isi pesan dan mengolah pesan, atau suatu alat
untuk mengobservasi dan menganalisis perilaku komunikasi yang terbuka dari
komunikator yang dipilih. (Budd, 1967:2)
Penelitian
dengan metode analisis isi digunakan untuk memperoleh keterangan dari isi
komunikasi, yang disampaikan dalam bentuk lambing yang terdokumentasi atau
dapat didokumentasikan. Metode ini dapat dipakai untuk menganalisis semua
bentuk komunikasi, seperti pada surat kabar, buku, puisi, film, cerita rakyat,
peraturan perundang-undangan, dan sebagainya.
Analisis
ini berguna bagi antopolog untuk menggali nilai-nilai yang terpendam, bagi
sosiolog untuk mengamati perubahan sosial, bagi ilmuwan politik untuk memahami
perkembangan arus pesan politik, bagi psikolog untuk menganalisis perilaku,
bagi pengusaha untuk menganalisis kebutuhan pasar. Pendeknya bagi setiap orang
yang ingin menangkap apa yang tersirat dari apa yang tersurat.
Dengan
menggunakan anilisis isi, peneliti dimungkinkan mengobservasi pesan-pesan
publik komunikator pada waktu dan tempat sendiri yang dipilih oleh peneliti.
Prosedur penggunaannya pun tidak terlalu rumit. Setidaknya ada tiga macam
alasan mengenai perlunya suatu metode penelitian analisis isi terdapat
pernyataan seseorang, buku, media masa, atau yang lainnya.
Pertama, walaupun orang sering diterpa pesan komunikasi, pengalaman
personal yang diterpa pesan tersebut terbatas dan selektif sifatnya. Pada
kehidupan sehari-hari, misalnya, tidak mungkin peneliti memperhatikan semua
acara televise atau semua materi surat kabar dalam kurun waktu tertentu. Lebih
jauh lagi karena sifat selektivitas kita terhadap terpaan informasi, seringkali
menyebabkan pengetahuan mengenai apa yang disiarkan, dibiaskan oleh selera
pribadi. Dengan demikian, hanya melalui monitoring yang sistematislah yang akan
diberikan suatu pandangan representative mengenai suatu siaran televise
atau pesan komunikasi yang lain.
Kedua,
biasanya ada kecenderungan untuk menggeneralisasikan pengalaman
komunikasi yang khas. Misalnya jika suatu saat orang menyaksikan siaran
beberapa acara televisi yang menampilkan adegan kekerasan, maka orang tersebut
cenderung mengasumsikan bahwa kebanyakan isi pesan televisi mencerminkan
kekerasan. Begitu pula kalau membaca surat kabar, jika kebetulan yang dibaca
adalah beberapa berita criminal, akan menyimpulkan bahwa isi Koran tersebut
didominasi oleh berita kejahatan. Hal semacam ini merupakan suatu penyimpulan
yang tergesa-gesa tanpa pengamatan yang sistematis dan lebih didasarkan pada
persepsi, bukan dari data yang nyata.
Ketiga, terpaan sehari-hari pada komunikasi jarang memotivasi untuk
menganalisis aspek-aspek yang berharga pada isi pesan komunikasi. Dalam
menyaksikan acara televise, misalnya, pemirsa jarang memperhatikan dan
menganalisis karakteristik sosial atau jenis pekerjaan dari lakon (hero) atau
penjahat yng ada dalam film cerita di televise. Padahal analisis semacam ini
dapat memberikan perspektif pada kita tentang data sosiologi produk-produk
komunikasi massa.
Oleh
karena itu, dengan menggunakan metode analisis isi, akan diperoleh suatu hasil
atau pemahaman terhadap berbagai isi pesan komunikasi yang disampaikan oleh
media massa atau sumber informasi lain secara objektif, sistematis, relevan
secara sosiologis.
Jadi,
analisis isi di sini berbeda dengan kegiatan membaca, menonton, atau mendengar
secara kritis (analisis). Dalam membaca, menonton, atau mendengar, kita dapat memilih
setiap bagian isi yang menarik atau mendukung pendapatnya. Sementara pada
aniisis isi yang diperlukan adalah suatu tinjauan yang menyeluruh dari semua
isi komunikasi yang tidak dibiasakan oleh selera pribadi atau perhatian sesaat.
Untuk
lebih jelasnya kita simak penuturan Benard Berelson tentang hakikat analisis
isi. Menurut Berelson (Stempel 1983:9), analisis isi merupakan suatu teknik
penelitian untk melukiskan isi komunikasi yang nyata secara objektif,
sistematik, dan kuantitatif. Objektif diartikan bahwa hasil penelitian
bergantung prosedur penelitian bukan pada orangnya. Objektivitas tersebut dapat
dicapai dengan katagorisasi yang ditetapkan sehingga orang yang berlainan dapat
menggunakannya analisis ini yang sama memperoleh dan memperoleh hasil yang sama
pula. Sistematik berarti satu prosedur tertentu diterapkan secara sama pada
semua isi yang dianalisis. Dengan penetapan katagori yang sedemikian rupa
sehingga semua isi yang relevan dianalisis. Dalam hal ini, analisis dirancang
untuk memperoleh data yang relevan dengan masalah atau hipotesis penelitian.
Sedangkan kuantitatif diartikan dengan mencatat nilai-nilai bilangan atau
frekuansi untuk melukiskan berbagai jenis isi yang didefinisikan. Sementara
pengertian isi yang nyata di sini merupakan isi yang tersurat, yang berarti isi
tersebut harus di-koding seperti apa adanya yang tersurat (tampak),
bukan seperti apa yang dirasakan oleh peneliti.
Penelitian
dengan menggunakan analisis isi sebenarnya merupakan suatu bentuk penelitian
yang mendasar dan multiguna, ia tidak sekedar mendeskripsikan cirri-ciri pesan,
namun juga mendasari penelitian efek komunikasi dan penelitian mengenai
penyebab menculnya pesan. Dengan kata lain, analisis isi bukan hanya untuk
memepelajari karakteristik isi komunikasi, tetapi juga untuk menarik kesimpulan
mengenai sifat komunikator, khalayak, dan efeknya.
Penelitian-penelitian
karakteristik pesan, misalnya dapat dilakukan pada beberapa keadaan antara
lain:
1. Membandingkan pesan dari sumber yang sama dalam kurun waktu
tertentu yang berbeda, dengan maksud meliahat kecendrungan isi.
2. Membandingkan pesan dari sumber yang sama dalam situasi yang
berbeda, dengan maksud melihat pengaruh situasi terhadap isi pesan.
3. Meneliti pengaruh ciri-ciri khalayak sasaran terhadap isi dan gaya
komunikasi.
4. Membandingkan pesan dari sumber yang sama dalam situasi atau
sasaran khalayak yang berbeda.
5. Membandingkan isi pesan dari sumber-sumber yang berbeda.
6. Membandingkan isi pesan yang dihasilkan oleh sumber tertentu dengna
perilaku sumber tersebut untuk mengetahui nilai, sikap, motif, atau tindakan
dari sumber yang bersangkutan.
7. Membandingkan anatara isi pesan yang ada pada satau atau lebih
sumber yang ada dengan keadaan masyarakat pada waktu pesan itu disampaikan.
8. Membandingkan pesan yang disampaikan sumber tertebtu dengan
pesan yang diterima oleh sasaran.
9. Membandingkan pesan yang disampaikan sumber tertentu dengan perilaku yang
dilakukan oleh sasaran.
Prosedur
Analisis Isi
Penelitian yang menggunakan analisis
isi biasanya melalui tahapan prosedur:
1. Perumusan masalah;
2. Perumusan hipotesisi;
3. Penenteuan unit analisis;
4. Penarikan sampel;
5. Coding;
6. Pengumpulan data;
7. Analisis data.
Pada dasarnya pendekatan analisis
ini tidak berbeda dengan pendekatan yang banyak diterapkan pada metode survai.
Jika survai memilih suatu populasi, analisis isi memilih tipe atau subset
media. Jika survai dihimpun data dari orang-orang sesuai dengan sejumlah
variabel, pada analisis ini dihimpun objek dalam system kata gori. Dalam survai
ada pemberian nilai pada variabel, sedangkan pada analisis isi adalah
keberadaan atau ketidakberadaan, frekuensi, atau acuan tertentu.
Seperti halnya dengan survai, metode
ini digunakan dalam berbagai tujuan, tetapi khususnya digunakan untuk mengambil
sari dari distribusi frekuensi isi acuan sampai pada hal-hal frekuensi yang
diketahui dalam realitas sosial. Oleh karena itu, metode ini agak condong pada
perbandingan isi media dengan realitas, studi masalah sosial-budaya, serta
jenis dampak penelitian tertentu.
a.
Perumusan
Masalah
Tahap perumusan masalah merupakan
landasan awal untuk merumuskan gejala yang ingin diteliti. Pada tahap ini,
masalh harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan yang dapat diukur. Misalnya,
kita inggin mengetahui pakah berita criminal di surat kabar X tahun 1991 lebih
banyak daripada berita criminal surat kabar X tahun 1981. Oleh karena itu,
terlebih dulu harus dioperasionalkan sebagai berita-berita yang mengandung
peristiwa pembunuhan, penganiayaan, pencurian, penipuan, perampokan, perkosaan,
penyelundupan, penyalahgunaan oabat terlarang, korupsi, dan manipulasi, maka
permasalahannya dapat dirumuskan dalam
kalimat tanya yang berbuni, “Berapa banyak berita pembunuhan, penganiayaan,
pencurian, penipuan, perampokan, perkosaan, penyelundupan, penyalahgunaan oabat
terlarang, korupsi, dan manipulasi di surat kabar X pada tahun 1991 dan surat
kabar X di tahun 1981?”
Jadi, dalam perumusan permasalahan
tersebut, penelitian harus memiliki operasionalisasi konsep yang akan diteliti.
Operasioanalisasi tersebut dapat menggunkan konsep katagori yang sudah ditulis
oleh para pakar sebelumnya, ataupun dengan merujuk teori tertentu dengan
penerapannya yang logis.
b.
Perumusan
hipotesis
Sebenarnya perumusan hipotesis bukan
merupakan prasyarat mutlak dalam
penelitian analisis isi, tetapi lebih layak dilakukan terutama guna memberikan
arah yang jelas pada jalannya penelitian. Hipotesis dapat dirumuskan dalam
bentuk hipotesis nol dan hipotesis kerja. Untuk contoh hipotesis nol, misalnya,
“tidak ada perbedaan yang nyata tentang banyaknya berita criminal di surat
kabar X pada tahun 1991 dengan surat kabar X pada tahun 1981”. Untuk contoh
hipotesis kerja, misalnya, “terdapat perbedaaan jumlah yang nyata antara berita
criminal di surat kabar X tahun 1991 dengan surat kabar X tahun 1981.”
Pengetesan hipotesis dalam analisis data dapat menggunakan rumus statistik yang
sederhana, yakni chi-kuadrat (dibahas dalam analisis data).
c.
Penentuan Unit
Analisis
Penentuan satuan analisis merupakan dasar untuk
penarikan sampel dan tahapan penelitian berikutnya. Satuan analisis berkaitan
dengan masalah penentuan yang akan diteliti. Apakah yang akan diteliti itu
kata, kalimat, paragrap, atau berita. Jawabannya harus berkaitan dengan tujuan
penelitian. Jika tujuannya ingin menemukan jumlah berita kiminal di suatu surat
kabar, maka yang dihitung adalah berdasarkan setiap berita yang diberitakan,
yaitu jumlah peristiwa yang memberitakan pembunuhan, penganiayaan, pencurian,
penipuan, perampokan, perkosaan, penyelundupan, penyalahgunaan obat terlarang,
korupsi, dan manipulasi. Namun, jika yang ingin diteliti aspek pornografi di
buku buku cerita (komik) pada kurun waktu tertentu, unit analisisnya dapat
berupa, kata-kata yang menyuratkan pornografi, misalnya kata senggama, ciuman,
buah dada, atau kata-kata sejenis lainnya.
Ukuran perhitungan yang dipakai
dalam penentuan unit analisis ini dapat berupa satuan kata, satuan kalimat,
satuan peristiwa (berita), ataupun satuan lambang tertentu yang disesuaikan
dengan tujuan penelitian. Perhitungan unit analisis didasarkan pada pilihan
jenis unit analisisnya. Jika berupa unit sintaksis yang unit analisisnya berupa
kata atau simbol, maka perhitungannya adalah frekuensi jumlah kata atau symbol
itu. Jika unit analisisnya berupa satuan satuan berita, maka perhitungannya
berdasarkan tema peristiwa yang diberitakan. Dasar perhitungan demikian disebut
unit tematik.
Selain dapat dihitung berdasarkan
jumlah peristiwadengan tema tertentu, isi dapat pula dihitung berdasarkan unit fisiknya. Bukan satuan peristiwanya,
namun yang dihitung satuan panjang, kolom, inci, ataupun waktu. Jika analisis
ini yang meneliti pemuatan iklan pada surat kabar, maka yang dihitung bukan
temanya, namun lebih tepat satuan ruang, seperti kolom atau inci yang digunakan
sebagai unit analisis. Sedangkan iklan di TV atau radio yang dihitung bukan
temanya, namun juga waktu permenir, detik, atau jam.
Perhitungan unit analisis dapat pula
didasarkan pada unit referen, yakni rangkaian kata atau kalimat menunjukkan
sesuatu yang mempunyai arti sesuai kategori. Contoh, aspek pornografi tidak
selalu ditunjukkan oleh symbol atau kata yang secara tersurat bersifat porno,
tetapi dapat pula ditunjukkan oleh rangkaian kata yang tiap katanya tidak
menunjukkan porno, tetapi rangkaiannya menyiratkan pornografi. Misalnya, “dua
orang berlainan jenis itu kemudian masuk ke dalam kamar, sunyi dan hening,
tiada terdengar apapun kecuali suara napas mereka yang berkejar-kejaran”.
Kalimat di atas tidak memiliki kata yang tersurat porno, namun rangkainnya
mereferensikan pada adegan pornografi.
Jadi, satuan analisis yang digunakan
sebagai dasar perhitungan ini dapat berupa satuan sintaksis (kata atau
lambang), satuan tema dari peristiwa, atau berita, dan dapat pula satuan fisik
yang berupa waktu, panjang, kolom, atau volume, dan satuan referen. Satuan analisis
ini dapat digunakan secara bersamaan dalam satu penelitian, namun analisisnya
dipisahkan, tidak campur aduk.
d.
Penarikan
Sampel
Dalam hal penarikan sampel, yang
harus diperhatikan adalah memastikan bahwa sampel mewakili populasi yang
dimaksudkan. Untuk populasi seluruh surat kabar X selama tahun 1991 dan
1981, sampel dapat diambil dengan memilih sejumlah terbitan dengan jumlah yang
sama tahun 1991 dan 1981 dari surat kabar X. kalau populasinya sedikit, lebih
baik jika semua dijadikan total sampel agar betul-betul representatif. Namun,
bila populasinya cukup banyak, agar mempermudah dapat pula dengan mengambil
50%, 25% atau minimal 10% dari seluruh populasi. Mengenai besar sampel tidak
ada ketentuan yang pasti, yang penting dalam hal ini representatif. Oleh karena
itu, metode pengambilan harus diperhatikan dengan waktu dan isi yang diteliti.
Pengambilan sampel pada dasarnya
sama dengan penelitian jenis lain. Bedanya sampel dalam analisis isi bukanlah
individu-individu dalam masyarakat, namun merupakan suatu pesan atau pernyataan
yang (dapat) terdokumentasi. Berikut ini dikemukakan beberapa cara yang biasa
digunakan dalam penarikan sampel dalam analisis ini.
Sampling random sederhana. Pada metode ini semua unsure populasi ditulis dalam secarik
kertas, kemudian diundi sampai diperoleh jumlah yang dikehdaki. Unsure-unsur
yang jatuh itulah yang menjadi sampel. Cara semacam ini kurang praktis jika
populasinya berjumlah besar, dan akan semakin sulit jika kerangka sampling
tidak dipahami.
Sampling sistematik. Dalam penggunaan metode ini harus diketahui dulu kerangka
samplingnya, yakni daftar semua unsure populasi. Jika sudah diketahui, pilihan
sampel dilakukan dengan mengambil unsur-unsur dalam jarak tertentu. Misalnya,
kita ingin meneliti berita criminal pada surat kabar X pada tahun 1991.
Diketahui bahwa jumlah surat kabar selama setahun adalah sekitar 360, sementara
kita hanya memerlukan 60 unsur terbitan. Oleh karena itu, perbandingan ukuran
sampel dengan populasi adalah 360 : 60 = 6 ini disebut sampling ratio.
Misalnya, unsur pertama yang kita pilih adalah terbitan tanggal 2 januari, maka
sampel berikutnya adalah tanggal 7, 13, 19, 25, 31, tanggal 16 Februari, 12,
18, 24, dan seterusnya. Namun, bila yang diteliti surat kabar, maka hari minggu
dan hari libur tidak dimasukkan sebagai sampel sehingga hitungannya dilompati.
Hal itu sering dilakukan karena edisi minggu berbeda dengan edisi hari-hari
biasa.
Jika yang diteliti dari satu surat
kabar, misalnya, yang diteliti surat kabar Jawa Pos, Surabaya Pos, dan Surya,
maka pengambilan sampel dilakukan sama persis untuk ketiganya. Artinya, Jika
sudah ditentukan sampling rationya maka tanggal-tanggal yang terpilih berlaku
untuk ketiga surat kabar tersebut.
Sampling Cluster. Cara ini digunakan jika tidak memiliki kerangka sampling.
Misalnya, penelitian aspek pornografi isi novel terbitan sebelum tahun 1970
dibandingkan dengan terbitan setelah 1980. Untuk menghitung dan mengenali satu
per satu jumlah novel yang terbit pada kurun waktu tersebut teramat sulit, dan
daftarnya mungkin terlalu panjang. Oleh Karena itu, dilakukan pengelompokkan
berdasarkan tempat terbitnya, misalnya, kelompok yang terbit di Jakarta,
Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan seterusnya atau dapat pula dikelompokkan
berdasarkan pengarangnya atau penerbitnya. Jika sudah kita tentukan, misalnya
pengarang A mengeluarkan 10 karangan pada kurun waktu itu, dapat ditentukan
dengan mengambil 3 dari karangan secara random. Jika ada 10 pengarang dengan
rata-rata 10 buku, maka diperoleh 30 sampel. Begitu pula jika dasarnya wilayah
atau satuan kelas yang lain. Cara ini agak sulit jika masing-masing kelas
memiliki jumlah unsur sampel yang berbeda-beda secara mencolok.
Sampling kebetulan (aceidental sampling). Jenis ini menggunakan sampel dengan
cara pengambilan berdasarkan kepada asas kebetulan saja. Misalnya, ingin
meneliti kecenderungan isi surat kabar Kompas selama 1991 dan 1992. Kebetulan
memiliki 100 terbitan dari kurun dua tahun tersebut, dan menggunakan apa adanya
yang dimiliki itu. Cara demikian disebut sampling kebetulan. Cara macam ini
memang mudah, namun sering kali kurang representatif.
Sampling purposif, yaitu memilih sampel berdasarkan penilaian tertentu karena
unsur-unsur yang dipilih dianggap mewakili populasi. Tentu saja pengambilan pilihan harus didasarkan
alasan-alasan yang logis, misalnya tingkat homogenitas yang tinggi atau
karakteristik, sampel terpilih mempunyai kesamaan karakteristik populasi.
e.
Coding
Karena analisis didefinisikan
bersifat sistematis dan objektif, penelitian harus memperhatikan realibilitas
coding. Reabilitas berarti adanya konsistensi klasifikasi. Misalnya, ada dua
orang pembuat coding mengamati brita kriminal di surat kabar. Kedua
orang tersebut harus mencapai kesepakatan yang sama dengan klasifikasi, mana
yang termasuk kriminal dan mana yang bukan sehingga perhitungannya tidak
berbeda. Apabila dalam melakukan coding tidak diperoleh kesamaan (berbeda) hasilnya, maka besar kemungkinan
dikarenakan beberapa hal yaitu definisi katagori yang tidak cermat; kegagalan
pelaku coding untuk mencapai kerangka pemikiran yang sama antara pelaku coding;
atau adanya kekeliruan perhitungan. Oleh karena itu, penentuan indikator pada
suatu kata gori pesan, harus benar-benar jelas batasannya. Jangan menggunakan
kata gorisasi yang mempunyai arti ganda atau tidak jelas batas-batasnya.
Selanjutnya untuk mengetahui
reliabilitas alat ukur dapat ditempuh dengan cara sederhana, yaitu
membandingkan hasil coding anatara dua atau tiga orang pada sampel yang di
prauji (pretes). Misalnya, tiga orang pengcoding mengatagorisasi satu bagian
dari sampel yang sama, maka reliabilitas
alat ukur perlu dipertanyakan.
Jika pengcoding hanya sendirian,
maka dapat ditempuh dengan cara melakukan pengcodingan pada data pretest yang
sama, dalam waktu yang berbeda-beda minimal tiga kali. Kemudian dibandingkan
hasilnya apakah ada perbedaan atua tidak. Jika sama, maka kategorisasi cukup
andal. Jika terdapat perbedaan, perlu dikaji kembali konsep kategorisasinya.
Ada beberapa kategorisasi yang
pernah dikembangkan oleh para pakar untuk menganalisis isi media massa. Namun,
kategorisasi yang mereka gunakan belum
tentu sama dengan yang dibutuhkan. Deuchman, misalnya, mengaterogasi isi media
masa dalam 11 kategorisasi, yakni perang dan pertahanan, hiburan popular, human
interest, kegiatan ekonomi, pendidikan kesenian klasik, politik, pemerintahan,
kejahatan, kecelakaan dan bencana, kesehatan
dan kesejahteraan masyarakat, ilmu dan penemuan, serta masalah moral
masyarakat (Flourney, ed., 1990:26-28). Kategori karl deuchman terhadap isi
media massa ini banyak sekali digunakan oleh peneliti-peneliti analisis isi,
maka tanpa ataupun dengan modifikasi di beberapa sisi kategori
Ishadi S.K menggunakan dua kategori
untuk isi peliputan berita pembangunan di surat kabar Indonesia, adalah:
1.
Pemerintahan
dan reformasi administrasi.
2.
Produksi pangan
pembangunan pertanian dan irigasi.
3.
Pembangunan
industry, ilmu, teknologi dan tenaga, pertambangan dan industry minyak tanah.
4.
Komunikasi,
transportasi dan pariwisata.
5.
Perdagangan dan
gerak-gerakan perkoperasian.
6.
Tenaga kerja
dan transmigrasi.
7.
Pembangunan
daerah dan pedesaan, dan perumahan.
8.
Pendidikan dan
kebudayaan.
9.
Kesehatan.
10.
Kesejahteraan
masyarakat dan keluarga berencana, penerangan dan media massa.
11.
Hokum dan
penegakan hokum.
12.
Pertahanan dan keamanan
nasional (Flourney (ed.), 1990:72-75).
Dapat
saja dibuat kategorisasi sendiri sesuai kebutuhan, namun dapat pula digunakan
kategorisasi yang pernah dilakukan oleh para pakar sebelumnya. Ada beberapa
keuntungan bila menggunakan sistem kategori yang telah dipakai dalam penelitian
lain. Pertama, kategorisasi itu dapat dijalankan dengan melihat hasil
penelitian yang pernah menggunakannya. Kedua, kemungkinan hasil penelitian
dapat diduga sebelumnya. Ketiga, validitas dan reabilitasnya lebih terjamin.
Walaupun demikian, seringkali masih perlu diciptakan seperangkat kategori
sendiri atau menghilangkan dari senin sampai dengan hari sabtu (hari minggu
tidak dihitung karena pada hari minggu, surat kabar tertib dalam edisi
khusus yang sedikit berisi berita). Oleh
karena itu, kalau dalam tabel disebutkan hari senin, berarti seluruh hari senin
selama satu bulan, begitu pula untuk hari selasa dan seterusnya.
TABEL
Frekuensi
Berita Kriminal Surat Kabar X
Hari Selama
Sebulan
|
Tahun 1991
|
Tahun 198
|
Senin
|
17
|
13
|
Selasa
|
12
|
11
|
Rabu
|
19
|
14
|
Kamis
|
16
|
8
|
Jum’at
|
8
|
7
|
Sabtu
|
10
|
5
|
Total
|
82
|
58
|
Untuk
mengetes apakah perbedaan tersebut karena kebetulan atau tidak, kita harus
menghitung frekuensi yang diharapkan (fh) berdasarkan peluang yang yang dapat
diramalkan, yaitu dengan jalan membagi sama rata jumlah berita:
(82+58=140:2=70).
Pembagian secara merata adalah 70 dan
70, angka-angka ini di masukkan ke dalam rumus chi-kuadrat sebagai
berikut:
chi-kuadrat total = 4.12
Nilai chi-kuadrat ini harus dibandingkan dengan
tabel chi-kuadrat dengan drajat kebebasan. (drajat kebebasan dihitung berdasarkan:(kolom-1x
jumlah lajur-1). Nilai chi-kuadrat pada tingkat kepercayaan 0,05 dengan derajat
kebebasan 1 adalah 3.84. dengan demikian nilai 4.12 lebih besar 3.84 sehingga
perbedaan tersebut bukan sekedar kebetulan, tetapi perbedaan yang nyata.
Demikian penggunaan Chi-square dalam menguji perbedaan nyata data yang diperoleh.
Uji semacam ini tidak harus
dilakukan, tetapi disesuaikan dengan pilihan analisisnya. Jika analisis
menggunakan tabel frekuensi dengan tabel silang, maka angka-angka dalam
presentase pun sudah dianggap cukup.
2. Beberapa
Contoh Penggunaan Tabel Presentase
Agar lebih jelas, berikut ini
dikemukakan pula suatu contoh tampilan analisis yang menggunakan tabel
presentase. Ishadi S.K. misalnya, ketika menyelesaikan tesis masternya, dalam
salah satu analisis datanya menunjukkan rincian ruang berita, periklanan, dan
kategori lain (seperti karikatur, cerita seri, Teka-teki silang, acara
televise, dan sebagainya) ke dalam sebuah tabel. Dibawah ini adalah beberapa
contoh penggunaan tabel dengan presentase.
Tabel
Persentase
Ruang Berita, Periklanan dan Kategori Lain dari
Enam Surat
Kabar Indonesia
Suarat Kabar
|
Berita
|
Iklan
|
Lain-lain
|
Jumlah
|
Berita Yudha
|
852
|
11,4
|
3,4
|
100%
|
Suara Karya
|
80,7
|
13,5
|
5,8
|
100%
|
Kompas
|
60,5
|
32,8
|
5,7
|
100%
|
Sinar Harapan
|
61,9
|
35,9
|
2,2
|
100%
|
Merdeka
|
84,5
|
13,9
|
1,6
|
100%
|
Pelita
|
85,0
|
12,3
|
2,7
|
100%
|
Studi
yang diteliti dari enam terbitan tahun 1980 oleh ishadi ini, menampakkan bahwa
muatan iklan yang lebih banyak dimiliki oleh dua terbitan independen, yakni sinar
harapan dan kompas. Sementara porsi berita terbesar ada pada Berita
Yudha. Dasar perhitungan penelitian ishadi ini adalah unit fisik, yaitu
luas kolom yang digunakan (untuk berita, iklan, atau yang lain) dibagi
keseluruhan luas kolom.
Contoh lain penggunaan tabel untuk
analisis isi dilakukan abdul razak yang meneliti kebebasan pers yang dilihat
dari isi tajuk rencana beberapa pers Indonesia. Dasar perhitungan presentase
pada analisis razak berbeda dengan ishadi, Razak menggunakan dasar perhitugan
per artikel bukan besarnya fisik, melainkan menggunakan Unit for reference
setiap tulisan tajuk dihitung satu tanpa memperhitungkan berapa luas kolom yang
dipakai. Berikut ini tabel yang digunakan oleh Razak.
Masih pada
contoh hasil penelitian yang sama, Razak dalam kesempatan lain juga
mengemukakan sebuah tabel yang berkaitan dengan sifat ketegasan Tajuk
Rencana surat kabar terhadap suatu kebijakan pemerintah yang diteliti pada
tahun 1983. Pada tabel berikut ketegasan Tajuk Rencana diklasifikasi
dalam dua macam kategori, yaitu berupa sanjungan atau pujian dan kategori
kedua, yaitu celaan atau kritik (flourney, (ed), 1990:173)
Dari
contoh-contoh di atas, Nampak bahwa penggunaan tabel cukup sederhana dalam
analisis isi. Dalam hal ini yang penting adalah kemampuan peneliti untuk
menginterpretasi data yang diperoleh. Untuk lebih jelas dalam pembahasan
analisis isi berikut ini, akan dikemukakan pula beberapa bahan bacaan yang
dapat digunakan sebagai referensi maupun memperdalam pengetahuan tentang content
analysis.
Daftar Pustaka
Amirul Hadi, Haryono., Metodologi Penelitian Pendidikan.
Pustaka Setia, Bandung, 1998, hal 174
Tidak ada komentar:
Posting Komentar