Imam Nawawi berkata di dalam Al-Adzkar: ”Ketahuilah
bahwasanya ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi,
diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib
bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi (saudaranya yang
lain) untuk melarang orang itu, kalau dia tidak takut kepada mudhorot yang
jelas. Dan jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari
dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika hal itu
memungkinkan.
Jika dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau dengan
memotong pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan yang lain, maka wajib
baginya untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya berarti dia telah
bermaksiat.
Jika dia berkata dengan lisannya: ”Diamlah”, namun hatinya
ingin pembicaraan gibah tersebut dilanjutkan, maka hal itu adalah kemunafikan
yang tidak bisa membebaskan dia dari dosa. Dia harus membenci gibah tersebut
dengan hatinya (agar bisa bebas dari dosa-pent).
Jika dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak
mampu untuk mengingkari ghibah itu, atau dia telah mengingkari namun tidak
diterima, serta tidak memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut,
maka harom baginya untuk istima’(mendengarkan) dan isgho’ (mendengarkan dengan
seksama) pembicaraan ghibah itu. Yang dia lakukan adalah hendaklah dia
berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan lisannya dan hatinya, atau
dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan
diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu maka tidak dosa baginya mendengar
ghibah (yaitu sekedar mendengar namun tidak memperhatikan dan tidak faham
dengan apa yang didengar –pent), tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu,
jika memang keadaannya seperti ini (karena terpaksa tidak bisa meninggalkan
majelis gibah itu –pent). Namun jika (beberapa waktu) kemudian memungkinkan dia
untuk meninggalkan majelis dan mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka
wajib baginya untuk meninggalkan majelis”[1]20)
. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ
يَخُوْضُوْنَ فِيْ آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوْضُوْا فِيْ
حَدِيْثٍ غَيْرِهِ, وَ إِمَّ يُنْسِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ
الذِكْرِ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ
“Dan
apabila kalian melihat orang-orang yang mengejek ayat Kami, maka berpalinglah
dari mereka hingga mereka mebicarakan pembicaraan yang lainnya. Dan apabila
kalian dilupakan oleh Syaithon, maka janganlah kalian duduk bersama kaum yang
dzolim setelah kalian ingat”. [Al-An’am : 68]
Benarlah
perkataan seorang penyair…
وَسَمْعَكَ صُنْ عَنْ سَمَاعِ
الْقَبِيْحِ كَصَوْنِ اللِّسَانِ عَنِ النُّطْقِ بِهْ فَإِنَّكَ عِنْدَ سَمَاعِ
الْقَبِيْحِ شَرِيْكٌ لِقَائِلِهِ فَانْتَبِهْ
Dan
pendengaranmu, jagalah ia dari mendengarkan kejelekan
Sebagaimana
engkau menjaga lisanmu dari mengucapkan kejelekan itu.
Sesungguhnya
ketika engkau mendengarkan kejelekan,
Engkau
telah sama dengan orang yang mengucapkannya, maka waspadalah.
Dan
meninggalkan majelis ghibah merupakan sifat-sifat orang yang beriman,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِذَا سَمِعُوْا اللَّغْوَ
أَعْرَضُوْا عَنْهُ
“Dan
apabila mereka mendengar lagwu (kata-kata yang tidak bermanfaat) mereka
berpaling darinya”. [Al-Qashash : 55]
وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ
“Dan
orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada
berguna”. [Al-Mu’minun :3]
Bahkan sangat dianjurkan bagi seseorang yang mendengar
saudaranya dighibahi bukan hanya sekedar mencegah gibah tersebut, tetapi untuk
membela kehormatan saudaranya tersebut, sebagaimana sabda Rosulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ عَنِ
النَّبِيِّ قَالَ : مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ, رَدَّ اللهُ وَجْهَهُ النَّارَ
“Dari
Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan
orang, maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya pada hari kiamat”[2]
Demikian
juga pengamalan para salaf ketika ada saudaranya yang dighibahi, mereka akan
membelanya, sebagaimana dalam hadits-hadits berikut:
عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَامَ النَّبِيُّ يُصَلِّي فَقَالَ : أَيْنَ مَلِكُ بْنُ الدُّخْشُنِ؟
فَقَالَ رَجُلٌ : ذَلِكَ مُنَافِقٌ,
لاَ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ, فَقَالَ النَّبِيُّ : لاَ تَقُلْ
ذَلِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يُرِيْدُ بِذَلِكَ
وَجْهَ اللهِ وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلِهَ
إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِيْ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ
“Dari
‘Itban bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menegakkan sholat, lalu (setelah selesai sholat) beliau berkata: “Di
manakah Malik bin Addukhsyum?”, lalu ada seorang laki-laki menjawab: ”Ia
munafik, tidak cinta kepada Allah dan Rasul-Nya”, Maka Nabi r berkata:
“Janganlah engkau berkata demikian, tidakkah engkau lihat bahwa ia telah
mengucapkan la ila ha illallah dengan ikhlash karena Allah?, dan Allah telah
mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan
ikhlash karena Allah”. [Bukhari dan Muslim]
حَتَّى بَلَغَ (رَسُولُ الهِر ) تَبُوكَ فَقَالَ وَهُوَ جَالِسٌ فِي الْقَوْمِ
بِتَبُوكَ مَا فَعَلَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلَمَةَ : يَا رَسُوْلَ
اللهِ حَبَسَهُ بُرْدَاهُ وَ النَّظَرُ فِيْ عِطْفَيْهِ. فَقَالَ لَهُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ : بِئْسَ مَا
قُلْتَ, وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ إِلاَّ خَيْرًا, فَسَكَتَ
رَسُوْلُ اللهِ
“Dari
Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Ketika Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah sampai di Tabuk, dan sambil duduk beliau bertanya: “Apa
yang dilakukan Ka’ab?”, (Yakni mengapa dia tidak keluar berjihad ke Tabuk
ini-Red.) maka ada seorang laki-laki dari Bani Salamah menjawab: ”Wahai
Rasulullah, ia telah tertahan oleh mantel dan selendangnya”. Lalu Mu’adz bin
Jabal berkata: “Buruk sekali perkataanmu itu, demi Allah wahai Rasulullah, kami
tidak mengetahui sesuatupun dari dia melainkan hanya kebaikan”. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diam”. [Bukhori dan Muslim]
BERTAUBAT
DARI GHIBAH
Berkata Syaikh Utsaimin : “…Ghibah yaitu engkau
membicarakannya dalam keadaan dia tidak ada, dan engkau merendahkannya di
hadapan manusia sedangkan dia tidak ada. Untuk masalah (bertaubat dari ghibah)
ini para ulama berselisih. Di antara ulama ada yang berkata (bahwasanya) engkau
(yang menggibah) harus datang kepadanya (yang dighibahi) lalu berkata
kepadanya: “Wahai fulan sesungguhnya aku telah membicarakan-mu di hadapan orang
lain, maka aku mengharapkan-mu memaafkan-ku dan merelakan (perbuatan)ku”.
Sebagian ulama (yang lainnya) mengatakan (bahwasanya) engkau
jangan datang kepadanya, tetapi ada perincian: Jika yang dighibahi telah
mengetahui bahwa engkau telah mengghibahinya, maka engkau harus datang
kepadanya dan meminta agar dia merelakan perbuatanmu. Namun jika dia tidak
tahu, maka janganlah engkau mendatanginya (tetapi hendaknya) engkau memohon
ampun untuknya dan engkau membicarakan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat
yang engkau mengghibahinya. Karena sesungguhnya kebaikan-kebaikan bisa
menghilangkan kejelekan-kejelekan. Pendapat kedua ini lebih benar, yaitu
bahwasanya ghibah itu, jika yang dighibahi tidak mengetahui bahwa engkau telah
mengghibahinya, maka cukuplah engkau menyebutkan kebaikan-kebaikannya di
tempat-tempat yang kamu mengghibahinya dan engkau memohon ampun untuknya.
Engkau bisa berkata: “Ya Allah ampunilah dia”, sebagaimana yang terdapat dalam
hadits:
كَفَّارَةُ مَنِ اغْتَبْتَهُ أَنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُ
“Kafarah (penebus dosa) untuk
orang yang kau ghibahi adalah engkau memohon ampunan untuknya”[3].
Ibnu Katsir berkata: “…para ulama lain berkata: “Tidaklah
disyaratkan baginya (yang mengghibah) meminta penghalalan (perelaan dosa
ghibahnya-pent) dari orang yang dia ghibahi. Karena jika dia memberitahu orang
yang dia ghibahi tersebut bahwa dia telah mengghibahinya, maka terkadang malah
orang yang dighibahi tersebut lebih tersakiti dibandingkan jika dia belum tahu,
maka jalan keluarnya yaitu dia (si pengghibah) hendaknya memuji orang itu
dengan kebaikan-kebaikan yang dimiliki orang itu di tempat-tempat yang dia
telah mencela orang itu…”[4]
CARA
MENGHINDARKAN DIRI DARI GHIBAH
Untuk
menghindari ghibah kita harus sadar bahwa segala apa yang kita ucapkan semuanya
akan dicatat dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ
لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ
“Tiada
suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas
yang selalu hadir”. [Qaf : 18]
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً
“Dan
janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak mengetahuinya, sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati itu semua akan ditanyai (dimintai
pertanggungjawaban)” [Al-Isra’: 36]
Jika kita tidak menjaga lisan kita -sehingga berbicara
seenaknya tanpa ditimbang-timbang dahulu, yang akhirnya mengakibatkan kita
terjatuh pada ghibah atau yang lainnya- maka hal ini akibatnya sangat fatal.
Sebab lisan termasuk sarana yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam
neraka. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَ هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِيْ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ
حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ ؟
“Bukankah
tidak ada yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka melainkan akibat
lisan-lisan mereka ?”.
Demikian
juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ :
الفَمُ و الْفَرَجُ
“Yang
paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang: mulut dan
kemaluan”.[5]
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ zأَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ n يَقُوْلُ : إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَة مِنْ سَخَطِ اللهِ
لاَ يُلْقِيْ لَهَا بَالاً يَهْوِيْ بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ
“Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau mendengar Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ”Sesungguhnya seorang hamba benar-benar akan
mengatakan suatu kalimat yang mendatangkan murka Allah, yang dia tidak
menganggap penting kalimat itu, akibatnya dia terjerumus ke dalam neraka
Jahannam gara-gara kalimat itu”. [Bukhari]
Sehingga
karena saking sulitnya menjaga lisan, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda :
عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله ِ : مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا بَيْنَ
لِحْيَيْهِ وَ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Dari
Sahl bin Sa’d Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rosulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: ”Barangsiapa yang menjamin kepadaku (keselamatan) apa yang
ada di antara dua bibirnya (yaitu lisannya), dan apa yang ada di antara kedua
kakinya (yaitu kemaluannya), maka aku jamin surga baginya”. [Bukhari dan
Muslim]
Imam Nawawi berkata: “Ketahuilah, bahwasanya ghibah adalah
seburuk-buruknya hal yang buruk, dan ghibah merupakan keburukan yang paling
tersebar pada manusia, sehingga tidak ada yang selamat dari ghibah ini kecuali
hanya segelintir manusia”[6]
Imam
Syafi’i berkata:
الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍٍ فِيْ سِتـَّةٍ مُتَظَلِّمٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ
مُـحَذَِّرٍ وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ
فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ
“Jagalah
lisanmu wahai manusia Janganlah lisanmu sampai menyengat-mu, sesungguhnya dia
seperti ular Betapa banyak penghuni kubur yang terbunuh oleh lisannya Padahal
dulu orang-orang yang pemberani takut bertemu dengannya”
GHIBAH
YANG DIBOLEHKAN
Syaikh Salim Al-Hilali berkata: “Ketahuilah bahwasanya ghibah
dibolehkan untuk tujuan yang benar, yang sesuai syari’at, yang tujuan tersebut
tidak mungkin bisa dicapai kecuali dengan ghibah itu”.[7]
Hal-hal yang membolehkan ghibah itu ada enam (sebagaimana
disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al-Adzkar), sebagaimana tergabung dalam suatu
syair :
الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍٍ فِيْ سِتـَّةٍ مُتَظَلِّمٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ
مُـحَذَِّرٍ وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ
فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ
“Celaan
bukanlah ghibah pada enam kelompok Pengadu, orang yang mengenalkan, dan orang
yang memperingatkan Dan terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta
fatwa Dan orang yang mencari bantuan untuk menghilangkan kemungkaran”
Pertama
: Pengaduan Maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada sultan
(penguasa) atau hakim dan yang lainnya, yang memiliki kekuasaan dan kemampuan
untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh) berkata: “Si
fulan telah menganiaya saya demikian dan demikian”. Dalilnya firman Allah:
لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجهْرَ بِالسُّوْءِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ
“Allah
tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali
oleh orang yang dianiyaya”. [An-Nisa’ : 148].
Pengecualian yang terdapat dalam ayat ini menunjukkan
bolehnya orang yang didzholimi mengghibahi orang yang mendzoliminya, dengan
hal-hal yang menjelaskan kepada manusia tentang kedzoliman yang telah
dialaminya dari orang yang mendzoliminya, dan dia mengeraskan suaranya dengan
hal itu dan menampakkannya di tempat-tempat berkumpulnya manusia. Sama saja
apakah dia nampakkan kepada orang-orang yang diharapkan bantuan mereka
kepadanya, atau dia nampakkan kepada orang-orang yang dia tidak mengharapkan
bantuan mereka.[8]
Kedua
: Minta Bantuan Untuk Mengubah Kemungkaran Dan Mengembalikan Pelaku Kemaksiatan
Kepada Kebenaran. Maka seseorang (boleh) berkata kepada orang yang diharapkan
kemampuannya bisa menghilangkan kemungkaran: “Si fulan telah berbuat demikian,
maka hentikanlah dia dari perbuatannya itu” dan yang selainnya. Dan hendaknya
tujuannya adalah sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika niatnya
tidak demikian maka hal ini adalah haram.
Ketiga
: Meminta Fatwa. Misalnya seseorang berkata kepada seorang mufti: “Bapakku
telah berbuat dzolim padaku”, atau “Saudaraku, atau suamiku, atau si fulan
telah mendzolimiku, apakah hukuman yang dia dapatkan?, dan bagaimanakah jalan
keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari
kedzoliman?”, dan yang semisalnya. Tetapi yang yang lebih hati-hati dan lebih
baik adalah hendaknya dia berkata (kepada si mufti): “Bagaimana pendapatmu
tentang seseorang atau seorang suami yang telah melakukan demikian? ”. Maka
dengan cara ini tujuan bisa diperoleh tanpa harus menyebutkan orang tertentu,
namun menyebutkan orang tertentupun boleh sebagaimana dalam hadits Hindun;
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَتْ هِنْدٌ امْرَأَةُ أَبِيْ سُفْيَانَ لِلنَّبِيِّ : إِنَّ أَبَا
سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِيْ مَا يَكْفِيْنِيْ وَوَلَدِِيْ
إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ, قَالَ : خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدِكِ
بِالْمَعْرُوْفِ
“Dari
‘Aisyah berkata: Hindun, istri Abu Sofyan, berkata kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak
memberi belanja yang cukup untukku dan untuk anak-anakku, kecuali jika saya
ambil tanpa pengetahuannya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
“Ambillah apa yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik”
(jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit)”[9]
Keempat
: Memperingatkan Kaum Muslimin Dari Kejelekan. Hal ini diantaranya: Jarh wa
ta’dil (celaan dan pujian terhadap seseorang) yang telah dilakukan oleh para
Ahlul Hadits. Mereka berdalil dengan ijma’ tentang bolehnya, bahkan wajibnya
hal ini. Karena para salaf umat ini senantiasa menjarh (mencela) orang-orang
yang berhak mendapatkannya, dalam rangka untuk menjaga keutuhan syari’at.
Seperti perkataan ahlul hadits: “Si fulan pendusta”, “Si fulan lemah
hafalannya”, “Si fulan munkarul hadits”, dan lain-lainnya.[10]
Contoh
yang lain yaitu
Mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari
nasehat. Dan tidak mengapa dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang
yang dighibahi tersebut. Dalilnya sebagaimana hadits Fatimah;
عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ فَقُلْتُ : إِنَّ أَبَا الْجَهْمِ وَ مُعَاوِيَةَ
خَطَبَانِ, فَقَالَ رَسُوْلُ الله :
أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ. وَأَمَّا أَبُوْا
الْجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ الْعَصَا عَنْ عَاتِقِهِ.(وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : وَأَمَّا أَبُوْا
الْجَهْمِ فَضَرَّابُ لِلنِّسَاءِ
“Fatimah
binti Qois berkata: “Saya datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
berkata: “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya”. Maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Adapun Mu’awiyah maka ia seorang
miskin adapun Abul Jahm maka ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari
bahunya”. (Bukhori dan Muslim). Dan dalam riwayat yang lain di Muslim (no 1480)
:”Adapun Abul Jahm maka ia tukang pukul para wanita (istri-istrinya)”. [11]
Kelima
: Ghibah Dibolehkan Kepada Seseorang Yang Terang-Terangan Menampakkan
Kefasikannya Atau Kebid’ahannya. Seperti orang yang terang-terangan meminum
khamer, mengambil harta manusia dengan dzolim, dan lain sebagainya. Maka boleh
menyebutkan kejelekan-kejelekannya. Dalilnya :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ فَقَالَ
ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ
أَخُوْا الْعَشِيْرَةِ
“‘Aisyah
berkata: “Seseorang datang minta idzin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Izinkankanlah ia, ia
adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya”.[12]
Namun
diharomkan menyebutkan aib-aibnya yang lain yang tidak ia nampakkan, kecuali
ada sebab lain yang membolehkannya.[13]
[13]
Keenam
: Untuk Pengenalan. Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti
Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’roj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan yang
selainnya, maka boleh untuk disebutkan. Dan diharomkan menyebutkannya dalam
rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara lain untuk untuk mengenali
mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka) maka cara tersebut lebih baik.
PERHATIAN Syaikh Salim Al-Hilali berkata:
1.
Bolehnya ghibah untuk hal-hal di atas adalah hukum yang menyusul (bukan hukum
asal), maka jika telah hilang ‘illatnya (sebab-sebab yang membolehkan ghibah),
maka dikembalikan hukumnya kepada hukum asal, yaitu haramnya ghibah.
2.
Dibolehkannya ghibah ini adalah karena darurat. Oleh karena itu ghibah tersebut
diukur sesuai dengan ukurannya (seperlunya saja). Maka tidak boleh memperluas
terhadap bentuk-bentuk di atas (ghibah yang dibolehkan). Bahkan orang yang
mendapatkan keadaan darurat ini (sehingga dia dibolehkan ghibah) hendaknya
bertaqwa kepada Allah, dan janganlah dia menjadi termasuk orang-orang yang
melampaui batas.[14]
Maraji’
:
1.
Kitab As-Samt, karya Ibnu Abi Dunya tahqiq Syaikh Abu Ishaq Al-Huwainy
2.
Syarah Riadlus Solihin, karya Syaikh Utsaimin, jilid 1, Bab Taubat
3.
Taisir Karimir Rohman, karya Syaikh Nasir As-Sa’di
4.
Bahjatun Nadzirin Syarah Riadlus Sholihin, Karya Syaikh Salim bin ‘Ied
Al-Hilaly, jilid 3
5.
Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4, tafsir surat Al-Hujurot
6.
Al-Muntaqo Al-Mukhtar Min Kitab Al-Adzkar (Nawawi), karya Muhammad Ali
As-Shobuni, bab tahrimul ghibah
7.
Tuhfatul Ahwadzi
8.
Kitabuz Zuhud, karya Imam Waki’ bin Jarroh, tahqiq Abdul Jabbar Al-Fariwai,
jilid 3
9.
Subulus Salam, karya As-Shon’ani, jilid 4 bab tarhib min masawiil akhlaq.
10.
Taudlihul Ahkam, karya Syaikh Ali Bassam, jilid 6
11.
Hajrul Mubtadi’, karya Syaikh Bakr Abu Zaid
Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-7574821]
_______
Footnote
[1].
Bahjatun Nadzirin 3/29,30
[2].
Riwayat At-Tirmidzi 1931 dan Ahmad 6/450, berkata Syaikh Salim Al-Hilali :
“Shohih atau hasan”
[3].
Syarah Riyadlus Sholihin 1/78) (Sedangkan hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi
Dunya dalam kitab Ash-Shomt no 291, Syaikh Abu Ishaq berkata: “Maudlu’”,
As-Subki berkata: “Dalam sanad hadits ini ada perowi yang tidak bisa dijadikan
hujjah, dan kaidah-kaidah fiqh telah menolak (isi) hadits ini, karena ghibah
itu (menyangkut) hak manusia, maka tidak bisa gugur kecuali dengan melepaskan
diri, oleh karena itu dia (si pengghibah) harus meminta penghalalan/perelaan
dari yang dighibahi. Namun jika yang dighibahi telah mati dan tidak bisa
dilaksanakan (permohonan penghalalan tersebut), maka sebagian ulama berkata:
“Dia (si pengghibah) memohon ampunan untuk yang dighibahi”
[4].
Tafsir Ibnu Katsir 4/276
[5].
Riwayat Tirmidzi 2004, Ahmad (2/291,292), dan lain-lain. Syaikh Salim Al-Hilali
berkata: “Isnadnya hasan”
[6].
Tuhfatul Ahwadzi hal 63
[7].
Bahjatun Nadzirin 3/33.
[8].
Ini adalah perkataan As-Syaukani. Namun hal ini dibantah oleh Syaikh Salim,
yaitu bahwasanya ayat ini (An-Nisa’ 148) menunjukan hanyalah dibolehkan orang
yang didzolimi mencela orang yang mendzoliminya jika dihadapan orang tersebut.
Adapun mengghibahnya (mencelanya dihadapan manusia, tidak dihadapannya) maka ini
tidak boleh karena bertentangan dengan ayat Al-Hujurot 12 dan hadits-hadits
yang shohih yang jelas melarang ghibah. Karena ghibah hanya dibolehkan jika
dalam dhorurot. (Bahjatun Nadzirin 3/36,37
[9].
Riwayat Bukhori dalam Al-Fath 9/504,507, dan Muslim no 1714)
[10].
Sebagaimana yang dilakukan oelh para salaf ketika memperingatkan umat dari
bahaya para ahlul bid’ah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang
penjelasan wajibnya nasihat untuk memperbaiki Islam dan kaum muslimin: “Seperti
para imam kebid’ahan yaitu orang-orang yang mengucapkan perkataan-perkataan
yang menyimpang dari Kitab dan Sunnah atau yang telah melakukan ibadah-ibadah
yang menyimpang dari Kitab dan Sunnah, maka menjelaskan keadaan mereka dan
memperingatkan umat dari (bahaya) mereka adalah wajib dengan kesepakatan kaum
muslimin. Hingga Imam Ahmad pernah ditanya:.”Seorang laki-laki puasa dan sholat
dan beri’tikaf lebih engkau sukai atau membicarakan tentang (kejelekan) ahlul
bid’ah (yang lebih engkau sukai)?”. Maka beliau menjawab: “Jika laki-laki itu
sholat dan i’tikaf maka hal itu (kemanfaaatannya) adalah untuk dirinya sendiri,
dan jika dia membicarakan (kejelekan) ahlul bid’ah maka hal ini adalah demi
kaum muslimin, maka hal ini (membicarkan kejelekan ahlul bid’ah) lebih baik.”
Maka Imam Ahmad telah menjelaskan bahwasanya hal ini (membicarakan ahlul
bid’ah) bermanfaat umum bagi kaum muslimin dalam agama mereka dan termasuk
jihad fi sabilillah dan pada agama-Nya dan manhaj-Nya serta syari’at-Nya. Dan
menolak kekejian dan permusuhan ahlul bid’ah atas hal itu adalah wajib kifayah
dengan kesepakatan kaum muslimin. Kalaulah bukan karena orang-orang yang telah
Allah tegakkan untuk menghilangkan kemudhorotan para ahlul bid’ah ini, maka
akan rusak agama ini, yang kerusakannya lebih parah dari pada kerusakan (yang
timbul) akibat dikuasai musuh dari ahlul harbi (orang kafir yang
menyerang-pent). Karena musuh-musuh tersebut tidaklah merusak hati dan agama
yang (telah tertanam) dalam hati kecuali hanya belakangan. Sedangkan para ahlul
bid’ah mereka merusak hati sejak semula. (Al-Fatawa 26/131,232, lihat Hajrul
Mubtadi’ hal 9)
[11].
Dan ini merupakan tafsir dari riwayat :(ia tidak pernah melepaskan tongkatnya
dari bahunya
[12].
Riwayat Bukhori dan Muslim no 2591), As-Syaukani menjelaskan bahwasanya dalil
ini tidaklah tepat untuk membolehkan menggibahi orang yang menampakkan
kefasikannya. Sebab ucapan (ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah
kaumnya) berasal dari Nabi r, kalau benar ini adalah ghibah maka tidak boleh
kita mengikutinya sebab Allah dan Nabi r telah melarang ghibah dalam
hadits-hadits yang banyak. Dan karena kita tidak mengetahui hakikat dan inti
dari perkara ini. Dan juga, pria yang disinggung oleh Nabi r tersebut ternyata
hanya melakukan Islam secara dzohir, sedangkan keadaannya goncang dan masih ada
bekas jahiliah pada dirinya. (Penjelasan yang lebih lengkap lihat Bahjatun
Nadzirin 3/46
[13].
Bahjatun Nadzirin 3/35). As-Syaukani menjelaskan : Jika tujuan menyebutkan
aib-aib orang yang berbuat dzolim ini untuk memperingatkan manusia dari
bahayanya, maka telah masuk dalam bagian ke empat. Dan kalau tujuannya adalah
untuk mencari bantuan dalam rangka menghilangkan kemungkaran, maka inipun telah
masuk dalam bagian ke dua. Sehingga menjadikan bagian kelima ini menjadi bagian
tersendiri adalah kurang tepat.(Bahjatun Nadzirin 3/45,46
[14].
Bahjatun Nadzirin 4/35,36
http://satumanhaj.wordpress.com/2011/01/14/masalah-ghibah/
[1]
Bahjatun Nadzirin 3/29,30
[2]
Riwayat At-Tirmidzi 1931 dan Ahmad 6/450, berkata Syaikh Salim Al-Hilali :
“Shohih atau hasan”
[3]
Syarah Riyadlus Sholihin 1/78) (Sedangkan hadits
ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab Ash-Shomt no 291, Syaikh Abu
Ishaq berkata: “Maudlu’”, As-Subki berkata: “Dalam sanad hadits ini ada perowi
yang tidak bisa dijadikan hujjah, dan kaidah-kaidah fiqh telah menolak (isi)
hadits ini, karena ghibah itu (menyangkut) hak manusia, maka tidak bisa gugur
kecuali dengan melepaskan diri, oleh karena itu dia (si pengghibah) harus
meminta penghalalan/perelaan dari yang dighibahi. Namun jika yang dighibahi
telah mati dan tidak bisa dilaksanakan (permohonan penghalalan tersebut), maka
sebagian ulama berkata: “Dia (si pengghibah) memohon ampunan untuk yang
dighibahi”
[4]
Tafsir Ibnu Katsir 4/276
[5]
Riwayat Tirmidzi 2004, Ahmad
(2/291,292), dan lain-lain. Syaikh Salim Al-Hilali berkata: “Isnadnya hasan”
[6]
Tuhfatul Ahwadzi hal 63
[7]
Bahjatun Nadzirin 3/33.
[8]
Ini adalah perkataan
As-Syaukani. Namun hal ini dibantah oleh Syaikh Salim, yaitu bahwasanya ayat
ini (An-Nisa’ 148) menunjukan hanyalah dibolehkan orang yang didzolimi mencela
orang yang mendzoliminya jika dihadapan orang tersebut. Adapun mengghibahnya
(mencelanya dihadapan manusia, tidak dihadapannya) maka ini tidak boleh karena
bertentangan dengan ayat Al-Hujurot 12 dan hadits-hadits yang shohih yang jelas
melarang ghibah. Karena ghibah hanya dibolehkan jika dalam dhorurot. (Bahjatun
Nadzirin 3/36,37).
[9]
Riwayat Bukhori dalam Al-Fath 9/504,507,
dan Muslim no 1714)
[10]
Sebagaimana yang dilakukan oelh
para salaf ketika memperingatkan umat dari bahaya para ahlul bid’ah, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang penjelasan wajibnya nasihat untuk
memperbaiki Islam dan kaum muslimin: “Seperti para imam kebid’ahan yaitu
orang-orang yang mengucapkan perkataan-perkataan yang menyimpang dari Kitab dan
Sunnah atau yang telah melakukan ibadah-ibadah yang menyimpang dari Kitab dan
Sunnah, maka menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan umat dari (bahaya)
mereka adalah wajib dengan kesepakatan kaum muslimin. Hingga Imam Ahmad pernah
ditanya:.”Seorang laki-laki puasa dan sholat dan beri’tikaf lebih engkau sukai
atau membicarakan tentang (kejelekan) ahlul bid’ah (yang lebih engkau sukai)?”.
Maka beliau menjawab: “Jika laki-laki itu sholat dan i’tikaf maka hal itu
(kemanfaaatannya) adalah untuk dirinya sendiri, dan jika dia membicarakan
(kejelekan) ahlul bid’ah maka hal ini adalah demi kaum muslimin, maka hal ini
(membicarkan kejelekan ahlul bid’ah) lebih baik.” Maka Imam Ahmad telah
menjelaskan bahwasanya hal ini (membicarakan ahlul bid’ah) bermanfaat umum bagi
kaum muslimin dalam agama mereka dan termasuk jihad fi sabilillah dan pada
agama-Nya dan manhaj-Nya serta syari’at-Nya. Dan menolak kekejian dan
permusuhan ahlul bid’ah atas hal itu adalah wajib kifayah dengan kesepakatan
kaum muslimin. Kalaulah bukan karena orang-orang yang telah Allah tegakkan
untuk menghilangkan kemudhorotan para ahlul bid’ah ini, maka akan rusak agama
ini, yang kerusakannya lebih parah dari pada kerusakan (yang timbul) akibat
dikuasai musuh dari ahlul harbi (orang kafir yang menyerang-pent). Karena
musuh-musuh tersebut tidaklah merusak hati dan agama yang (telah tertanam)
dalam hati kecuali hanya belakangan. Sedangkan para ahlul bid’ah mereka merusak
hati sejak semula. (Al-Fatawa 26/131,232, lihat Hajrul Mubtadi’ hal 9)
[11]
Dan ini merupakan tafsir dari riwayat :(ia tidak pernah melepaskan tongkatnya
dari bahunya.
[12]
Riwayat Bukhori dan Muslim no
2591), As-Syaukani menjelaskan bahwasanya dalil ini tidaklah tepat untuk
membolehkan menggibahi orang yang menampakkan kefasikannya. Sebab ucapan (ia
adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya) berasal dari Nabi r, kalau
benar ini adalah ghibah maka tidak boleh kita mengikutinya sebab Allah dan Nabi
r telah melarang ghibah dalam hadits-hadits yang banyak. Dan karena kita tidak
mengetahui hakikat dan inti dari perkara ini. Dan juga, pria yang disinggung
oleh Nabi r tersebut ternyata hanya melakukan Islam secara dzohir, sedangkan keadaannya
goncang dan masih ada bekas jahiliah pada dirinya. (Penjelasan yang lebih
lengkap lihat Bahjatun Nadzirin 3/46
[13]
Bahjatun Nadzirin 3/35). As-Syaukani menjelaskan : Jika tujuan menyebutkan
aib-aib orang yang berbuat dzolim ini untuk memperingatkan manusia dari
bahayanya, maka telah masuk dalam bagian ke empat. Dan kalau tujuannya adalah
untuk mencari bantuan dalam rangka menghilangkan kemungkaran, maka inipun telah
masuk dalam bagian ke dua. Sehingga menjadikan bagian kelima ini menjadi bagian
tersendiri adalah kurang tepat.(Bahjatun Nadzirin 3/45,46
[14]
Bahjatun Nadzirin 4/35,36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar